13. Our seat

3.6K 500 49
                                    

Kim Namjoon
     
      
    
Ini Jum'at.

Artinya dua hari lagi acara kampus dimulai. Mahasiswa yang terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan acara itu mulai kalang kabut menyelesaikan panggung dan hiasannya agar bisa selesai sebelum hari Sabtu. Pemilik stand makanan juga mulai mendekorasi stand mereka di sepanjang jalan utama kampus menuju aula utama, tempat pementasan seni dilangsungkan. Selain itu, pengisi acara juga sudah mulai sibuk mencocokkan waktu giliran tampil dengan orang sebelumnya dan juga melakukan koordinasi dengan tim sound system dan tata panggung.

Karena ini, aku pun meliburkan seluruh mahasiswa yang punya jadwal kelas denganku hari ini. Kebetulan juga sebagian besar mahasiswa di kelasku ikut terlibat dalam acara tahunan kampus, jadi daripada hanya mengajar satu dua orang, lebih baik meliburkan semuanya. Toh, aku juga harus datang melihat perkembangan persiapan acaranya karena aku adalah penanggung jawab dari acara ini. Aku harus tahu segalanya dan memastikan semuanya baik-baik saja, aman, dan terkendali.

Setelah menyelesaikan pengecekan tugas dua kelas, aku pun menyempatkan diri untuk datang melihat penampilan latihan para pengisi acara di aula. Sesampainya di sana, aku beberapa kali hampir terdorong karena mahasiswa yang lalu lalang membawa kursi-kursi untuk ditata di aula ini. Tak yakin sebenarnya apakah aula ini akan terisi sampai memenuhi tribun, tapi yang pasti bagian tengah aula harus terisi dulu dengan kursi-kursi.

Aku pun buru-buru melangkah ke salah satu tribun tempat aku terbiasa mendudukkan diri di sana. Posisinya pas sekali untuk menonton seluruh penampilan di panggung nanti. Apalagi kalau menonton penampilan Seokjin seperti kemarin. Pasti mataku akan sangat dimanjakan dengan indahnya permainan gitar dan suara merdu darinya.

Kuharap aku bisa dapat tempat duduk di sini hari minggu nanti.

Aku baru saja duduk dan Seokjin berjalan menghampiriku, meninggalkan teman-temannya yang tak acuh dengan kepergiannya. Agaknya aku terkejut melihatnya yang dengan sukarela tanpa disuruh datang sendiri kepadaku. Dia membuatku menatapnya penuh tanya sampai pada puncaknya dia duduk di sebelahku yang berjarak dua kursi.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku langsung sesaat setelah anak itu duduk di sana.

Seokjin menolehkan kepalanya, menatapku dengan ekspresi bingung. "Apanya, Pak?"

"Tidak biasanya kamu datang menghampiri saya lebih dulu. Ada yang mau dikatakan?" tanyaku sambil menumpu siku di salah satu paha dan menjadikan telapak tangan sebagai bantalan pipi. Membuatku lebih leluasa memperhatikannya.

Dia pun menggeleng ringan. "Hanya ingin menemani anda saja." Dan satu senyum tipis terangkat samar di kedua ujung bibirnya.

Mataku membulat saking terkejutnya dengan jawabannya yang tak pernah kuduga ini. Secepat mungkin kualihkan mataku ke arah lain, berhenti menatap wajah manis Seokjin agar tidak terjadi hal-hal yang lebih tak terduga seperti waktu itu. Pun sambil menetralkan jantungku yang berdetak tak karuan sampai nyeri rasanya. Aku pun menarik tubuhku dan memilih menyandarkan punggung pada kursi, bersikap seperti tidak ada yang terjadi.

Berbanding terbalik dengan diriku, Seokjin tampak tidak terganggu sama sekali dengan ucapannya itu. Perhatiannya malah terfokus pada panggung dimana teman-temannya sedang melakukan sesi latihannya.

Ah, aku baru sadar.

Seokjin di sini ternyata bukan tanpa alasan. Bukan karena dia semata-mata ingin menemaniku. Dia bukan orang yang melakukan apa-apa dengan spontan, tapi lebih melakukan dengan alasan.

Ingin tertawa saja rasanya. Mentertawakan kebodohanku yang tadi beberapa detik jatuh pada euforia bahagia karena kupikir Seokjin sudah mulai mau mendekatkan dirinya padaku. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Hahaha.

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang