Kim Namjoon
Cuaca hari ini cukup bersahabat dan sayang untuk dilewatkan. Langitnya biru, awannya tebal-tebal berwarna putih, membuat sinar matahari tidak semerta-merta menembus langit dan membakar bumi begitu saja. Panasnya tidak terlalu menyengat dan disertai dengan angin-angin semilir yang datang secara bergantian dengan ritme yang beraturan. Meski sudah hampir masuk musim dingin, sekiranya menggunakan baju lengan pendek masih bisa dikatakan wajar. Toh, hari ini rasanya terlalu kaku jika aku pakai baju lengan panjang.Kutolehkan kepalaku ke samping, tepat ke arah wajah Seokjin yang sedang menyeruput iced coffee-nya dari sedotan. Senyumnya terpasang di bibirnya, begitu juga dengan tatapannya yang membulat senang saat melihat-lihat pemandangan hijau di sekitarnya. Kemudian kutundukkan kepalaku ke bawah, ke arah kedua tangan kami yang saling bertautan.
Benar-benar hari yang cerah dan menyenangkan, ya.
Sekarang kami berada di salah satu perbukitan di salah satu hutan lindung di Seoul. Tempatnya sangat asri ditambah dengan pepohonan rindang di kiri kanan jalan selebar lima meter ini. Beberapa kali aku melihat ada tupai yang berkeliaran dari satu pohon ke pohon lainnya, mencari tempat untuk berlindung dan mencari makan.
Menyenangkan berada di sini. Bersama Seokjin.
"Kupikir kita akan benar-benar mendaki gunung. Sempat khawatir karena saya tidak membawa perlengkapan untuk mendaki. Tapi ternyata kita hanya pergi ke hutan. Saya lega," kata Seokjin padaku dengan wajah cerah menunjukkan kelegaannya.
Aku tersenyum kemudian mengelus pucuk kepala Seokjin dengan tanganku yang bebas. "Kita akan melakukannya lain kali dan melihat matahari terbit bersama. Kau mau, kan?" tanyaku yang langsung dibalas anggukan setuju dengan penuh semangat darinya.
"Tentu! Saya tidak keberatan ke mana saja asal bersama Bapak."
Demi tumpukan tugas mahasiswa di kantor, Seokjin kenapa bisa berubah seperti ini? Dia serius mengatakan itu, kan? Jantungku bisa-bisa kecewa jika itu hanya candaan.
"Aku tidak tahu kalau kau bisa sangat menyebalkan seperti ini," ujarku diakhiri dengan tawa mendengus dan menggeleng kecil ke arah tupai yang sedang menatap kosong ke arah lain di salah satu pohon.
Seokjin menoleh ke arahku, dan melengkungkan bibirnya tanda tak terima. "Saya perlu tahu yang mana saja yang sudah membuat anda kesal, Pak. Tolong sebutkan semuanya," rengeknya sembari menuntut.
Aku menoleh dan terkekeh melihat wajahnya yang kusuka itu. "Kau menyebalkan karena terus menggodaku dengan wajahmu yang polos itu." Kemudian kukecup pipinya dengan cepat. "Akan sangat menyebalkan kalau kau mengatakannya hanya sebagai candaan. Aku terlanjur suka dengan dirimu yang sekarang."
"Jadi diri saya yang dulu anda tidak suka ya, Pak?" Seokjin masih memberenggut tak puas dengan ucapanku. Dia tidak luluh meski sudah diberi satu kecupan.
"Tidak ada yang bilang kalau aku tidak menyukaimu yang dulu. Semua hal yang kau punya adalah hal favoritku, bahkan sikapmu yang ketus itu saat kita baru pertama kali kenal. Setiap harinya aku semakin menyukaimu meski kau merasa tidak ada yang berubah darimu. Kau spesial bagaimana pun dirimu, Jinseok."
Dia termanggu menatapku. Terpaku pada rasa kagum akan kata-kataku yang kuucapkan begitu lancar karena itu tulus dari dalam hati, kalau aku memang benar-benar menyukainya tanpa menuntut apa-apa. Dicintai kembali seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Seperti diberi anugerah oleh Tuhan yang tidak kuketahui apakah Dia ada atau tidak. Tetap saja aku bersyukur karena kehadiran Seokjin dalam hidupku.
Kucubit pipinya yang bulat itu dengan tanganku yang bebas tidak menggenggam tangannya, menyadarkan Seokjin yang masih membeku menatapku dengan mulut sedikit terbuka. "Apa yang kau pikirkan, hm? Terkejut karena aku memanggilmu dengan nama 'Jinseok' lagi?"
"Bukan," jawabnya cepat sembari melepaskan tanganku pada pipinya yang kemudian dia genggam sejenak sebelum dia lepaskan. "Saya hanya berpikir betapa jahatnya saya karena pernah meragukan kesungguhanmu, Pak."
Atmosfir kami pun berubah. Kami sama-sama tidak mengeluarkan kalimat apa-apa lagi selain menatap satu sama lain. Bohong kalau aku tidak kecewa mendengar kalimatnya itu. Ditambah dengan ekspresinya yang berubah sendu. Munafik kalau aku tidak pernah merasa skeptis dengan Seokjin yang mendadak membalas perasaanku. Pun bohong kalau aku tidak merasa kalau Seokjin mendekatiku hanya karena kelancaran kuliahnya. Semua praduga ini sudah pernah muncul di kepalaku, namun sekuat tenaga aku tepis dan terus berusaha mendekatinya.
Aku tidak masalah jika ada yang menyebutku sudah menjadi bucin, toh memang begitu adanya. Aku tidak peduli dia mau menganggapku sebagai apa, yang terpenting untukku adalah kehadirannya. Aku tidak peduli dia akan membuangku setelah kuliah nanti. Yang aku ingin hanya momen ini saja yang setidaknya bisa aku ingat jika nanti sempat terucap kata 'berpisah' di masa depan.
Tidak apa-apa jika nanti Seokjin tidak lagi mengingatku, biar aku yang mengingatnya sebagai orang yang pernah kukasihi dan kusayang selama hidupku.
"Aku tidak masalah sama sekali jika bahkan sampai sekarang pun kau masih meragukan ketulusanku. Yang aku mau hanya kehadiranmu, meski nanti aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Itu saja."
Aku tersenyum dengan lesung pipi yang selalu muncul di pipiku. Terlihat manis, tapi lihatlah bagaimana sorot mata yang terlihat sendu dan terpaksa untuk mengatakan 'baik-baik saja' itu.
Seokjin malah menggeleng. "Tidak. Saya bukan orang yang mendekati seseorang hanya karena kebutuhan. Saya memang sering skeptis dengan orang di sekitar saya, tapi saya tidak boleh melakukannya juga padamu, Pak. Saya tahu anda orang yang jujur dan apa adanya. Jadi tidak etis jika saya berlaku yang tidak seharusnya sebagai balasan kejujuran anda, Pak."
Meski dia mengatakannya seperti orang yang sedang marah dan ingin membentakku, tapi aku tahu kalau Seokjin sedang benar-benar menyesal. Ada gejolak yang menggelitik di perutku untuk mentertawakan kegemasannya itu. Pun kutundukkan kepalaku demi menyembunyikan tawa yang bisa saja menyinggung Seokjin yang sedang kesal itu. Tapi sepertinya tidak berhasil. Seokjin menyadari pergerakan mulutku yang sedang menahan tawa.
"Tertawa?" tanyanya dengan suara agak meninggi. Kuangkat kepalaku dan melihat wajahnya yang sudah memerah menahan malu dan amarah yang tercampur menjadi satu.
"Maaf. Kau terlalu menggemaskan," ujarku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Dia menyeramkan kalau sudah marah ternyata.
Bagaimana cara melunakkan hati Seokjin yang terlanjur marah ini ya?
Apa kucium saja?
Kutolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan, memeriksa apakah ada orang yang sekiranya akan melihat kami sekarang. Dirasa kondisinya aman, dengan cepat aku maju satu langkah kecil dengan setengah badan condong ke arah Seokjin yang di depanku. Kecupan kilat kuberikan ke bibirnya yang penuh itu. Mata Seokjin membulat kaget karena kecupan yang tiba-tiba itu.
"Kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri lagi. Aku hanya perlu kau berada di sampingku. Hanya itu. Terima kasih sudah sudi menemaniku satu bulan ini."
Muka Seokjin memerah sampai ke telinga dan lehernya. Dia melipat bibirnya ke dalam yang malah membuatnya jadi lucu. Aku tergelak melihatnya lalu mencubit pipinya.
"Kau tak bosan 'kan mendengar kata 'aku mencintaimu' beberapa hari ini? Sebenarnya aku ingin mengatakan itu sejak kita bertemu. Tapi aku tidak berani, jadi aku akan mengatakannya mulai dari sekarang. Aku mencintaimu, Jinseok. Selalu, setiap detik."
[*]Kalian ada yang nonton Hotel Del Luna nggak? Tau OST-nya yang Song Haye - Say Goodbye? Aku ngetik ini sambil dengerin lagu ini. Kusarankan untuk dengerin lagunya pas baca ini biar dapat feel-nya^^
Love y'all💜
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] His Smile | Namjin
Fanfiction⚠️⚠️⚠️ NAMJIN IS A COUPLE IN THIS STORY!!!! IF YOU ARE A HOMOPHOBIC, LEAVE THIS AND GO AWAY!!!! (forgive me for any mistakes, bcs this is my first time writing BL's story^^) alpakakoala, 2019