24. Summer Breeze

2.9K 466 54
                                    

Kim Namjoon

Ini sudah hari ketiga semenjak Seokjin mengatakan dia ingin memfokuskan dirinya hanya untukku. Juga, sudah hari ketiga dimana aku berusaha untuk membuatnya lupa dengan Jaehwan-jaehwan itu. Entah kenapa setiap kali otakku menyebut nama itu aku jadi kesal sendiri. Bisa-bisanya dia menolak kehadiran Kim Seokjin yang dulu jelas-jelas menyukainya sampai harus berhalusinasi bisa menjadi pasangan serasi. Cih. Sok tampan.

"Dia bukannya sok tampan, Pak. Tapi memang begitu kenyataannya."

Aku langsung menoleh cepat ke arahnya dan memelotot garang. Yang dipelototi hanya bisa tertawa sekaligus bangga karena sudah berhasil membuatku cemburu untuk ketiga kalinya. Dan penyebab cemburunya juga karena hal yang sama, yaitu memuji Jaehwan yang jelas-jelas kemarin hari dia bilang ingin melupakan presensi manusia itu. Tapi sekarang malah terang-terangan memuji dan membicarakannya.

"Jin, kalau kau mau terus bicara tentangnya, lebih baik pulang dan kerjakan tugasmu. Saya tak mau kelewatan memberikan tugas tambahan untuk anak-anak kelasmu," kataku gusar yang malah dibalas dengan tawa tertahan dari anak itu.

"Saya jadi penasaran tentang masa lalu percintaan Bapak," ujar Seokjin tiba-tiba sambil 

"Kau boleh percaya atau tidak, tapi kau lah orang pertama yang kuperbolehkan masuk ke dalam kehidupan percintaanku. Tidak ada yang pertama dan aku ingin kau yang terakhir."

Seolah-olah sudah terbiasa mendengarnya, Seokjin pun tersenyum. "Tidak heran kalau tindakan Bapak banyak spontanitas dan terburu-buru. Saya akhirnya bisa memaklumi semuanya. Maaf juga karena saya pernah memarahi Bapak tentang ciuman itu."

Aku tertawa malu mendengarnya. "Seharusnya yang berterima kasih disini adalah aku, Jin. Berkatmu, aku jadi tahu bagaimana seharusnya bersikap pada orang yang kusuka. Dan tentu tidak lagi dengan mencium sembarangan."

"Tapi kalau Bapak mau tahu, malah hal spontan yang selama ini Bapak lakukan justru membuat saya lebih tertarik. Karena Bapak juga saya harus punya kantung mata hitam seperti ini sekarang." Seokjin menunjuk bawah matanya dengan telunjuk kemudian tergelak gemas mendapati aku yang tersipu malu. 

Mengingat kejadian yang selama ini aku lakukan membuatku malu sendiri. Jadi terkesan bodoh dan pemula sekali. Tidak sesuai dengan umurku yang hampir tiga puluh lima. Sudah cukup dewasa untuk mengendalikan hasrat, tapi kalau sudah bersama Seokjin malah bertingkah seperti anak berumur delapan belas tahun yang kelebihan hormon.

Hubunganku dan Seokjin mulai berjalan mulus tanpa hambatan. Dia jadi lebih sering mendatangi kantorku bahkan saat bukan waktunya untuk mengantar tugas. Berkat kehadirannya aku juga jadi lebih mudah mempelajari seluk beluk kehidupannya dan sifatnya yang suka meledak-ledak itu. 

Kami juga jadi sering membicarakan banyak hal dari yang tidak serius (seperti, kalau membuka kimbap segitiga mesti dibuka semua plastiknya atau hanya bagian atasnya saja) dan juga hal yang sangat serius seperti bertukar opini masalah politik pemerintahan dan ideologi tentang kepribadian manusia.

Tapi ada juga momen dimana Seokjin bisa tiba-tiba mengeluarkan kalimat di luar dugaan seperti:

"Kalau saya dari awal terus-terusan menolak Bapak sampai pindah jurusan, Bapak masih mau mengejar saya atau tidak?"

Kaget sih pas Seokjin bertanya seperti itu. Tapi aku malah lebih kaget dengan jawabanku sendiri yang sama spontannya dengan pertanyaan Seokjin.

"Iya dong. Bahkan sampai kamu pindah kampus pun akan terus saya kejar. Saya kalau sudah menetapkan tujuan pada satu hal, berarti saya harus mengejarnya sampai dapat. Setidaknya saya harus lihat bagaimana akhirnya."

Seokjin terdiam dengan jawabanku. Kemudian bergidik ngeri setelah beberapa detik sadar maksud kalimatku yang terdengar seperti seorang penguntit. "Euw."

Tawaku menguar ringan karena tingkahnya pun dengan cepat aku menambah perkataanku. "Itulah kenapa saya tidak pernah berhenti mencari cara untuk bisa dekat denganmu. Kau tipe yang sulit didekati tapi aku cukup terkejut saat kau akhirnya memutuskan untuk datang menghampiriku juga."

Seokjin terdiam dibalik senyum sendunya. Tak ada respon sama sekali. Dan suasana di sekitar kami berubah hangat. Angin semilir dari balik jendela yang kubuka setengah membawa hawa hangat masuk ke dalam ruangan. Seokjin yang memintaku untuk membuka jendela. Katanya hari ini cuaca panasnya tidak terlalu kering, dan ada baiknya untuk tidak sering-sering menyalakan pendingin ruangan demi kesehatan kulit.

"Saya datang bukan karena lelah dikejar, Pak. Bukan juga karena jatuh pada pesona Bapak yang memang sulit ditolak. Tapi saya datang karena keinginan sendiri yang sudah terlanjur nyaman dan membutuhkan suntikan semangat dari Bapak. Sama seperti saat Bapak melihat senyum saya dan mengaku menyukai itu. Saya juga membutuhkannya."

Seokjin tiba-tiba membuka suaranya. Membuatku terkejut dan terdiam selama beberapa detik saking terkejutnya. Kutolehkan kepalaku ke samping, memperhatikan bagaimana Seokjin tersenyum ringan dengan bibirnya yang tebal itu. Jantungku jadi berdetak dua kali lebih kencang, karena ucapannya dan senyumannya.

"Kau harus tahu kalau saya tidak pandai menyenangkan hatimu, Jin," ujarku cepat-cepat memberi peringatan.

"Tidak masalah, Pak. Toh, saya suka hanya duduk berdua seperti ini dan membaca buku bersama-sama." Tidak ada keraguan sama sekali dibalik kalimatnya. Dia jujur, dan itu yang membuat jantungku jadi tiga kali lipat lebih kencang dari biasanya.

Aku yang duduk di kursi terpisah dari Seokjin, entah kenapa langsung bangun dari dudukku dan melangkah lebar sebanyak dua kali untuk menghampirinya. Kurendahkan badanku ke arahnya dengan tangan yang bergerak menjulur ke sekeliling rahangnya. Kudongakkan kepala Seokjin dengan tanganku sambil memiringkan kepala yang condong ke wajahnya. Dia seolah tahu apa yang akan kulakukan padanya jadi dia juga ikut menutup matanya, menikmati bagaimana kedua bibir kami saling bertemu dan merasakan bagaimana lembutnya milik satu sama lain selama beberapa detik. 

Beberapa lama saling bergerak dan membalas pagutan, aku pun menjauhkan bibirku. Kami sama-sama membuka mata dan langsung bertukar kontak mata dalam jarak yang cukup dekat. Seokjin tersenyum, begitu pula aku yang juga tersenyum menahan gejolak ingin menciumnya lagi saking senangnya. Seokjin tersenyum malu dengan menampakkan barisan giginya sembari pipinya yang terangkat membulat kecil di wajahnya. Dia malu dengan caranya yang menggemaskan. 

Aku suka cuacanya, apalagi kalau bersama Seokjin. Lucu sekali melihat kami berdua yang tidak banyak bicara, tapi saling nyaman satu sama lain. Seolah-olah seperti pasangan lama yang hanya perlu duduk berdampingan. Menemani dengan tenang saat aku membaca atau saat dia jatuh tertidur di sisiku. Kemudian tanganku bergerak ke atas kepalanya dan mengusapnya perlahan sampai menimbulkan bunyi lenguhan kecil dari Seokjin yang menggeliat mencari kenyamanan. 

Sesederhana itu untuk saling merasa aman satu sama lain. Tidak perlu tindakan heroik dengan memukul si mantan, atau membuat pengumuman tak penting tentang hak milik kepada khalayak ramai.

Nyatanya, ketenangan membuat kami nyaman satu sama lain tanpa harus melakukan apapun.

[*]

Gemes banget nggak sih? Nggak ngerti lagi :"

[END] His Smile  |  NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang