Prolog

382K 4.9K 26
                                    

Valencia Zubair. Panggilannya Cia. Gadis dari Indonesia yang berketurunan darah India. Cia berumur 20 tahun. Saat ini, dirinya amat bahagia karena mendapat beasiswa kuliah di Amerika.

Gadis bertubuh tinggi, berkulit putih, mata bulat serta berhidung mancung itu kini sudah duduk di dalam pesawat setelah berpamitan dengan keluarganya di bandara. Ibu dan adiknya. Sementara Ayah Cia yang bersuku India Mumbai sudah meninggal sejak dirinya duduk di bangku kelas 6 SD.

Cia menghapus sudut matanya yang sedikit berair karena air matanya. Sungguh---amat berat rasanya meninggalkan negara tercintanya ini beserta ibu dan adiknya. Setelah Ayah meninggal. Kehidupan Cia menjadi amat sederhana dibandingkan dengan dulu. Amat bersyukur Cia memiliki kepintaran hingga bisa mendapat beasiswa di luar negeri.

Apakah Cia akan baik-baik saja setelah di Amerika? Apakah tidak ada kendala disana? Apakah biaya makan dan keperluan sudah tersedia? Atau biaya makan di tanggung sendiri? Sekarang---Cia terdiam. Ia terlambat berpikir. Nasi sudah menjadi bubur, kini, dirinya sudah berada di dalam pesawat yang sedang menuju kesana. Apa yang harus dirinya lakukan di negara bebas itu? Cia mengusap wajahnya karena merasa bodoh tidak memikirkan semuanya dengan matang. Ia terlalu bersemangat mendengar kata Beasiswa dimana dirinya mendapat kuliah gratis. Hanya kuliah. Bukan kebutuhan hidup. Awalnya, Ibu Cia sudah melarang tapi, Cia tetap berkeras jika dirinya ingin melanjutkan kuliah.

Cia tidak sendiri. Cia pergi bersama salah satu seorang yang mendapat Beasiswa yang sama. Hanya saja, wanita manis disampingnya ini anak dari orang berada atau bisa dikatakan anak orang kaya. Cia meliriknya.

"Liana? Hem---aku mau bertanya, boleh?"

"Tentu. Tanya apa?" Tanya Liana ramah. Nama lengkapnya---Liana Christia.

"Hem, kita akan diberi tinggal di asrama. Tapi, apakah makan di tanggung?" Tanya Cia ragu.

Liana tertawa renyah membuat Cia mengeryitkan dahinya. Apakah ada yang lucu? Cia kembali menatap serius Liana meminta jawaban. "Kamu lucu Cia. Tentu saja ditanggung. Tapi, hanya sekedar ala asrama pada biasanya. Tidak mewah bahkan kenyang. Kamu harus meminta kiriman juga dari orang tuamu untuk biaya hidup. Apakah kamu akan makan dan kuliah saja disana? Tidakkah kamu berpikir jika harus ada buku yang harus dibeli? Atau keperluan lain?"

Cia diam. Benar kata Liana. Apakah dirinya hanya berkuliah saja tanpa ada keperluan yang lain? Cia menunduk sekarang.

"Keluargaku tidak mampu untuk itu Liana." Lirih Cia seraya menatap kejendela.

"Kamu tenang saja. Ada aku. Sekarang---kita bersahabat bagaimana?" Liana memberi tawaran. Cia mengangguk. Ia tersenyum lebar dan memeluk Liana erat. Akhirnya, ia tidak harus berpikir terlalu berat. Setidaknya, ada Liana sebagai sahabatnya.

"Terima kasih, Liana. Kamu baik." Cia tersenyum, Liana mengangguk membalas tersenyum.

"Ayolah, Cia. Jangan berlebihan." Liana memutar bola matanya. "Ngomong-ngomong kamu sepertinya bukan Indonesia asli," kata Liana setelah meneliti Cia.

"Aku berketurunan India. Ibuku Indonesia." Cia tersenyum lagi.

"Hem...," Liana mengangguk-angguk. "Pantas saja kamu cantik."

"Ah---kamu ini. Aku biasa saja. Sama seperti yang lain." Cia merendah.

Akhirnya, mereka menjadi sahabat sejak pagi ini. Sahabat sampai kelulusan tiba dan semoga sahabat selamanya. Semoga saja.

***

Berjam-jam berlalu. Kini, Cia dan Liana sudah sampai di negara Amerika tepatnya di kota New York City. Keduanya memasuki asrama yang tersedia di universitas.

"Bangunannya bagus, ya, Lia." Cia terperangah. Sementara Liana hanya tersenyum memakhlumi. Liana sudah muak berkunjung ke tempat-tempat bagus seperti ini.

"Iya. Kita akan satu kamar. Oke?" Liana tersenyum kalem seraya mengacungkan jempolnya. "Hem, ya. Kamu lapar?" Tanya Liana basa-basi.

Kruk... kruk...

"Baiklah. Perutmu sudah menjawabnya." Liana terkekeh. Sementara Cia hanya tersenyum malu.

Jam menunjukkan pukul Lima sore untuk waktu bagian Amerika. namun, cuaca masih sangat terang. Akhirnya, Liana memutuskan untuk mengajak Cia ke minimarket terdekat setelah selesai dengan data-data berkas pengurusan kuliah. Sekalian untuk melihat-lihat.

Ternyata dia anak kolongmerat. Batin Cia saat melihat Liana mengeluarkan isi dompetnya. "Hem. Kenapa semua orang terlihat acuh, Liana?"

"Hem. Begitulah negara ini. Acuh dan saling tidak peduli apapun. Kamu berciuman ditengah jalan pun tidak akan ada yang melarang atau mencibir mu," Jelas Liana acuh. "Bahkan pengurus perguruan tinggi kita pun sama acuhnya. Di negara kita, kita akan mendapat penjelasan serinci mungkin. Disini berbeda."


Cia hanya mengangguk mengerti. Walau tidak asli indonesia tetap saja adat indonesia masih melekat dalam diri Valencia. Dan sekarang, mendengar penjelasan Liana membuat tubuhnya bergidik. Cia menatap ke kiri dan ke kanan setelah keluar dari minimarket dengan barang belanjaan yang dibeli Liana.

Bruk....

"Shit!"

"Aw.. bokong ku."

Liana meringis menata Cia yang terduduk dilantai setelah menubruk seseorang. Setelah menatap Cia, Liana menatap pria yang menabrak Cia. Mata Liana terbelalak. Sumpah demi apapun pria dewasa dihadapannya ini sangat, sangat tampan. Bibirnya terperangah.

"Maaf Nona. Harusnya kau berjalan lebih hati-hati!" Pria itu tampak menggeram. Dilihatnya jam di tangan kirinya. "Ingat. Urusan kita belum selesai. Kamu membuat waktu ku terulur, Nona."

Cia berdiri. Ditatapnya tajam pria dihadapannya. Rasa takutnya tiba-tiba hilang entah kemana. "Hei! Kau yang menabrakku lebih dulu. Harusnya kau yang meminta maaf!" Pekik Cia kesal.

"Ingat saja namaku. Nick Johannes!" Desis pria bernama Nick itu lalu pergi dengan cepat meninggal Cia dan Liana yang tercengang.

"Dasar pria gila!" Gerutu Cia kembali berjalan menarik Liana yang belum tersadar dari kekagumannya. "Oh Tuhan. Hari pertamaku dinegara orang, aku sudah sial. Bagaimana selanjutnya? Bantu aku Tuhan." Rapal Cia.

"Cia. Dia tampan! Tidakkah kamu tertarik? Ah pasti dia sangat---panas. Aku yakin itu." Puji Liana seakan memuja. Cia akui memang tampan tapi tetap saja Cia tidak menyukainya.

"Liana. Ck. Berhenti memuji pria tadi. Lebih baik kita sekarang ke gereja yang berada disana. Aku mau berdoa. Semoga saja tidak bertemu dengannya lagi."

Liana terbahak. Teman barunya benar-benar aneh. Wanita manapun pasti menginginkan bertemu dengan pria tadi. Apalagi gayanya meyakinkan kalau dia adalah pria kaya raya. Liana yakin itu.

"Kalau ketemu lagi bgaimana?" Tanya Liana polos.

"Aku harap itu tidak akan terjadi." Sanggah Cia.

"Kalau berjodoh?" Tanya Liana lagi. Kali ini, Cia tampak jengah. Lalu, melirik Liana. "Hehe. Aku hanya bertanya 'kalau' bukan aku doakan." Liana menyengir. "Baiklah. Ayo."


TBC..

Hottest Daddy (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang