Terungkap

63.5K 2K 5
                                    

Setelah dua hari berada di Bali, Ibu dari dua anak itu tidak pernah luput memperhatikan gerak-gerik putrinya. Sebuah kecurigaan muncul dalam benaknya setelah melihat perubahan-perubahan kecil pada fisik Cia hingga memungkinkan mereka terburu untuk menikah walau Nick sudah menjelaskan kronologis pertemuan mereka dan bagaimana cinta itu tumbuh begitu saja.

Saat ini, Ana kembali memergoki putrinya sedang bercumbu mesra dengan Nick di ruang tamu seperti semalam. Setahunya, anak gadisnya tidak pernah bersikap demikian bahkan untuk menjalin hubungan dengan pria saja tidak pernah.

Tidak ada yang lebih mengenal anak kecuali Ibunya sendiri. Ana mengakui Nick adalah pria yang matang dan sudah sukses pastinya serta mencintai putrinya begitu besar. Tapi sebagai orang tua, Ana harus mengetahui pasti apa yang sebenarnya terjadi.

Ana menghampiri dua insan yang sedang berdekatan begitu rapat itu. Membubarkan suasana romantis.

"Ma-mama." Cia membenarkan posisi duduknya. Begitu juga dengan Nick yang terlihat kikuk.

"Boleh Mama tanya?"

Nick dan Cia saling Menatap sejenak lalu kembali fokus pada Ana. Keduanya mengangguk.

"Sudah sejauh mana hubungan kalian? Maksud Mama, apa masih dalam batas wajar?" Tanya Ana Membuat Cia gugup. "Maaf. Maksud Mama tidak terjadi sesuatu kan hingga kalian menikah secepat ini?"

Ragu-ragu Ana bertanya. Takut menyinggung Nick dan Cia. Ana kembali menelisik tingkah laku Cia. Tangan wanita itu meremas-remas gugup.

Nick memegang tangan Cia, segalanya harus dijelaskan dengan jujur. Jika menutupinya itu sama saja lari dari masalah. Nick Menatap wajah wanita berumur Lima puluh tahun itu dengan serius..

"Maafkan saya. Disini saya sangat bersalah, saya menutupi kesalahan saya. saya memang ingin bertanggung jawab. Sudah lama saya menginginkan pernikahan tapi Cia masih memberi penolakan.." Nick memegang tangan Cia. Membalas tatapan Ana yang mulai meragu menunggu lanjutan ucapannya. "Saya telah menghamili putri anda. Kini, usianya hampir memasuki satu bulan. Saya memang tidak pantas untuk dimaafkan. Tapi, saya memang mencintai Valencia dengan bersungguh-sungguh. Maaf."

"Maaf, Ma." Lirih suara Cia terdengar. Wanita itu menunduk, air matanya menetes.

"Kenapa kalian tidak mengatakannya dari awal?" Tanya Ana mencoba tegar dengan tidak meneteskan air matanya. Menatap Cia dengan tatapan tidak biasa. Tersirat kekecewaan disana.

"Aku takut, Ma. Hiks...." pecah tangis Cia mengisi ruang tamu.

Nick melihat itu langsung menenangkan wanitanya dengan cara mengelus punggungnya.

"Saya yang bersalah. Marahlah dengan saya tapi jangan dengan putri anda."

Ana menghela napas. "Semua telah terjadi. Sudahlah. Saya hanya berharap kamu bisa benar-benar melindungi Valencia dengan baik."

"Saya berjanji untuk itu." Nick menarik Cia untuk masuk dalam rengkuhannya. Sedikit ada kelegaan dalam dadanya setelah menumpahkan semua rahasia yang selama ini tertutupi itu.

Ana pergi menuju dapur. Sesak rasanya mendengar kenyataan yang pahit itu. Merasa telah gagal menjadi seorang ibu yang baik.

"Hei, kenapa masih menangis?" Tanya Nick masih mengelus pipi Cia.

"Mama pasti kecewa padaku. Diamnya seorang ibu adalah level terakhir setelah amarah." Cia memeluk tubuh Nick erat. "Aku bukanlah anak yang baik. Mungkin aku juga tidak bisa menjadi ibu yang baik. Hiks...."

"Jangan bicara begitu. Kau adalah ibu yang baik. Mommy dari anak kita."

Plak.. plak..

Suara langkah kaki masuk kedalam rumah. Mengalihkan pandangan Nick menatap ke arah pintu. Ternyata itu Raghav, adik Cia.

"Hei Uncle, kau apakan kakakku?" Tanya Raghav dengan alis terangkat sebelah. Sifat sok premannya kembali keluar. "Kau membuatnya menangis Uncle?"

"Bukan begitu. Kakak mu memang mudah menangis. Aku tidak melakukan apapun." Nick mencoba membela diri. Tangis Cia perlahan memudar.

"Tidak. Bukan Nick penyebabnya. Kau jangan berlebihan begitu," ucap Cia.

"Oh.... yasudah aku mau ke dapur." Raghav pergi berlalu menuju dapur. Pria remaja itu bersenandung pelan.

"Aku merasa dia seperti kakakmu saja." Nick tertawa. Mencoba menghibur Cia.

"Ya.... Raghav selalu melindungiku ketika aku mendapat masalah di luar. Dia baik hanya saja terkadang masih terlalu kekanakan."

"Oh, ya? Kalau sekarang sudah ada aku yang menggantikannya."

Cia memegang tangan Nick, menaruhnya di pipi. "Sekarang dan selamanya."

"Uncle, ikutlah denganku ke kedai dan kakak, coba lihat Mama. Dia sepertinya habis menangis di dapur."

Cia tersenyum singkat. "Pergilah, Nick. Aku harus bicara pada Mama."

-----------______

Cia duduk di kursi, sebelah Ana.memegang tangan Ibunya berharap Ibunya merespon.

"Maaf," ucap Cia.

Ana menoleh, tersenyum tipis pada putrinya. "Bagaimana keadaannya, apa sehat?"

"Dia baik-baik saja." Jawab Cia. "Ma, maafkan aku. Aku banyak salah sama Mama. Tidak pantas untuk dimaafkan."

Ana memegang pipi Cia. Membagi semangat dengan sebuah senyuman tulus. "Jangan bicara seperti itu. Mungkin ini sudah jalan hidupmu."

"Mama memaafkanku?" Tanya Cia pelan.

"Hem...." Ana mengangguk. "Jadilah ibu yang baik untuk anak-anakmu. Sayangi keduanya dan anggap mereka berdua terlahir sama dari rahimmu." Pesan Ana.

Cia berdiri. Memeluk Mamanya. Merasa sangat berdosa telah membohongi wanita yang telah melahirkannya itu. Sungguh, tak bisa untuk dimaafkan. "Kenapa mama memaafkan ku?"

"Kau akan mengerti ketika menjadi seorang Ibu. Orang tua tidak akan pernah bisa marah terlalu lama pada darah dagingnya." Cia tersenyum tipis. "Boleh mama tanya lagi?"

"Iya,"

"Bagaimana bisa kau mendapatkan pria se-kaya dan setampan dia? Boleh ceritakan?" Tanya Ana mencoba mencairkan suasana. Membiarkan Cia kembali duduk dengan nyaman.

"Dia gila, Ma. Dia memaksa aku menjadi kekasihnya. Akhirnya, aku mencintainya. Dasar!" Sungut Cia.

"Mama kira kau yang menggodanya." Ana tertawa pelan.

"Tidak. Andai Mama tau betapa Benci aku dulu padanya. Dia menjadikan putrinya agar aku tetap dalam jangkauannya." Adu Cia.

"Makanya jangan terlalu Benci. Jadi cinta kan? Eh.. Siapa nama putrinya?"

"Namanya, Anzel. Sangat cantik dan pintar." Cia sumringah menceritakan putrinya itu. "Nanti dia akan datang bersama sahabatku yang selalu menolongku selama disana. Dipernikahan kami. Mama pasti suka padanya."

"Oh, ya?" Ana mulai tertarik.

"Ya.... Dari awal bertemu, dia memanggilku Mommy. Hahaha!"

Ana tersenyum. Memperhatikan raut wajah putrinya yang sudah tidak lagi menunjukan kesedihan. Sudah saatnya putrinya itu bahagia, selama ini Cia sudah banyak membantunya dalam mencari uang menyambi sekolah. Tuhan sudah begitu baik memberikan pendamping yang mencintainya dengan tulus. Ana turut bahagia atas itu walau sedikit kecewa atas apa yang telah terjadi karena apa yang telah di lakukan Cia tetap saja salah dimata agama manapun. Hubungan diluar pernikahan bukanlah hal yang benar.

TBC..

Huaaaaa..... 😆😆😆
Capeknya... ngulang beberapa kali udah. Tapi, tetap aja ceritanya gak jelas alias kurang nyambung dan enak😆😆😆

Hottest Daddy (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang