Perasaan

94.1K 3.3K 16
                                    

    "Halo?"

    "..."

    "Apa!!?" Pekik Cia kaget. "Baiklah aku akan segera kesana!"

    Cia memutuskan panggilan setelah mendapat kabar dari pelayan kalau Anzelia sedang sakit demam tinggi. Sudah dua minggu setelah mereka bertemu, Cia tidak pernah bertemu lagi dengan Anzel maupun Nick. Keduanya sibuk masing-masing. Sementara Cia hari ini harus mulai bekerja karena baru mendapatkannya. Haruskah Cia relakan pekerjaannya terbuang? Cia bingung.

    "Kenapa?" Tanya Liana tang baru keluar dari kamar mandi setelah melihat ekspresi wajah Cia yang tampak khawatir.

    "Anzelia sakit. Aku harus bagaimana? Dia menyebut-nyebut namaku, Liana." Panik Cia.

    "Tenang, Valencia. Sekarang kau datangi saja." Usul Liana.

    "Pekerjaan ku?" Tanya Cia pelan.

    "Kembalilah bekerja pada Mr. Nick. Anzelia membutuhkan kau!" Cia terdiam. "Cepat bersiap!" Pekik Liana tidak sabar. Tangannya mendorong Liana menuju lemari.

    Sepuluh menit, Cia sudah selesai dengan persiapannya. Entah kenapa Cia sedikit aneh dimata Liana. Hari ini, Cia memoles sedikit lipbalm dibibirmya.

    "Oke. Aku harus pergi, bye!"

    "Eh tunggu ..." Cia berhenti. "Apa?," katanya. "Memangnya kau punya ongkos? Ini uang untukmu!" Liana memberikan beberapa lembar pada Cia.

Muach!

    "Kau yang terbaik, liana!" Cia tersenyum lebar lalu, berlari pergi.

    Liana mengelap pipinya. "Cium saja Mr. Nick! Jangan aku." Gerutunya.

***

    "Anzelia!?" Panggil Cia di depan pintu kamar gadis kecil itu.

    Nick melirik Cia yang tampak ngos-ngosan. Nick tetap di sisi Anzel. Awalnya yang ingin menyuruh Anzel. Untuk pura-pura sakit tapi, kini, justru Anzel sakit beneran. Di sisi lain, Nick tersenyum akan kehadiran Cia. Bukannya ia tidak tahu kalau hari ini adalah hari pertama Cia bekerja tapi, Cia batalkan demi Anzelia, putrinya. Nick selalu mencari informasi mengenai Cia.

    "Mommy?"

    "Iya, sayang. Mommy di sini, much!" Cia mengecup kening Anzelia. Suara gadis kecil itu tampak melemah dengan wajah pucatnya.

    "Sudah Anzel katakan, jangan marah lama-lama sama Daddy. Anzzel. Kalau terlalu lama rindu bisa sakit," kata Anzel lirih. "Mommy udah maafin Daddy kan?" Tanya Anzel.

    "Sudah. Mommy sudah maafin Daddy. Kamu sudah makan?" Tanya Cia cemas. Nick dapat melihat itu.

     "Belum. Anzel tidak mau makan kalau bukan anda yang menyulanginya," kata Ayke. Pelayan itu berdiri di belakang Cia. "Ini makanannya."

     Cia mengambil piring yang diberikan Ayke. Lalu, Cia sedikit mendudukkan Anzelia dan menyandarkan punggungnya pada pelang ranjang. "Kamu makan, ya? Mommy akan menyulangimu."

    Cia mulai menyuapi Anzel. Menyuapi sampai bubur di piring itu tandas tidak bersisa. Setelah itu, Cia memberikan Anzel minum.

     "Nah, sudah habis." Cia tersenyum lebar seraya tepuk tangan karena Anzel berhasil menghabiskan satu piring bubur. Nick tetap memperhatikan.

     "Mommy?" Tegur Anzel. "Mommy tidak pergi lagi kan?" Tanya Anzel berharap.

     Cia terdiam beberapa detik. "Tidak, Mommy tidak akan pergi lagi," kata Cia pada akhirnya dengan  tersenyum manis.

     Sangat manis! Nick bergumam dalam hati.

     "Nih, minum obat dulu, setelah itu, Anzel harus tidur biar cepat sembuh, ya?" Cia memberikan dua butir obat ke tangan Anzel.

     "Pait, Mom," kata Anzel menggelengkan kepalanya menolak.

     "Tidak akan. Minumnya jangan di rasa-rasa, sayang." Anzel mengangguk. Dengan cepat ia menelan obat dan langsung meminum air banyak-banyak. "Bagus. Sekarang, tidurlah." Cia merebahkan Anzel dan menutup tubuhnya dengan selimut. Dalam hitungan menit, Anzel. Terlelap.

     "Bibi, ini piringnya," ucap Cia memberi piring pada Ayke.

     "Datanglah keruangan ku, Cia!" Perintah Nick setelah Ayke pergi.

      Cia mengangguk canggung mengingat dirinya pernah memaki-maki Nick dengan kejam. Tidak kejam sebenarnya, hanya saja, sedikit menyakitkan. Cia Menatao kepergian Nick dengan sendu.

      "Mommy harus menemui Daddy mu. Sebenarnya Mommy malu, huh!" Cia mengeluh di samping Anzel yang tertidur pulas. "Baiklah. Cepat sembuh, Anzel,muach!" Cia mengecup kening Anzel.

***

    "Terima kasih!"

    "Untuk apa?" Tanya Cia tidak mengerti saat Nick mengatakan demikian bertepatan saat dirinya masuk. Cia duduk di sofa.

    "Terima kasih karena telah menyayangi Anzel layaknya anakmu sendiri," kata Nick dengan ekspresinya seperti biasa. Datar. Bukan berati tidak pernah tersenyum. Hanya saja, saat sedang serius wajahnya benar-benar tidak ada ekspresi. "Kau tau? Banyak wanita yanga ku kencani. Tapi, tidak ada yang menyayangi Anzel seperti kau menyayanginya."

Cia terdiam.

     "Lalu?" Tanya Cia ragu.

     "Aku menyukaimu. Entah kapan, aku tidak tau. Tapi, kau benar-benar memiliki daya tarik di mataku."

     Cia menelan ludahnya susah payah. Keringat sudah bercucuran di keningnya karena gugup.

    "Kau tidak perlu menjawab apapun karena aku tau kau membenciku," kata Nick sembari Menatap wajah pucat Cia.

    "Oh, iya. Maafkan aku karena telah lancang saat kejadian di mobil itu. Tapi sungguh kau sangat menggoda di mataku, Cia."

    "Ap-apa?" Aku harus apa, Tuhan? Cia menunduk.

    "Maafkan aku. Tapi, aku tidak berjanji untuk tidak mengulanginya lagi." Cia melototkan matanya.

    Apa maksud si tua bangka ini? Tidak! Tapi, dia Hottest Daddy. Kau sudah gila, Valencia. Kenapa malah memikirkan hal aneh!

    "Jadi?" Tanya Cia semakin gugup saat Nick berjalan mendekatinya.

Bless!
 
     Nick duduk di samping Cia. Menggenggam tangan Cia hingga membuat gadis itu kesulitan berpanas.

    "Umur kita memang terpaut jauh, Cia. Kau dua puluh tahun sementara aku tiga puluh dua tahun." Cia hanya diam. Mungkin hanya sepatah, dua patah kata Cia bersuara. lainnya, hanya Nick yang bicara.

     "Aku rasa aku harus ke toilet," Cia berusaha mencari alasan.

     Nick tersenyum lebar. "Pergilah! Tapi, jangan sampai tidak kembali. Kalau tidak, aku akan menghukummu," Cia berdiri lalu, berlari. "Persiapkan dirimu. Jangan gugup lagi."

TBC..

Hottest Daddy (selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang