50 (revisi 1)

69 9 0
                                    

Hari itu IPA 1 cukup bahagia mendapat kabar bahwa Bu Cik tidak dapat mengisi jam pelajaran di kelas. Guru Bahasa Indonesia yang merupakan nenek Satria ini mendapat panggilan khusus dari anak IPA 1, yaitu Nenek. Yaa walaupun dirinya tidak tau kalau di belakangnya kita suka memanggilnya dengan panggilan tersebut.

Sialnya ternyata bukannya jamkos, justru diganti dengan Bu Wike yang juga sama profesi mata studinya dengan Nenek. Adalah Bahasa Indonesia.

"Assalammu'alaikum..." salamnya masuk ke kelas.

"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarohkatuh..." sambut anak-anak Vaily.

"Ketemu Ibu lagi yaa..."

Untuk sedikit memperjelas, sebenarnya saat kelas XI kita pernah diajar oleh Bu Wike selama beberapa bulan saja, karena rupanya ia diberi tanggungan yang mengharuskannya untuk mengajar kelas XII. Mengganti salah satu guru di sekolah yang pensiun waktu itu. Jadilah guru Bahasa kami berganti kepada guru yang sangat melegenda satu itu, Bunda kami tercinta.

Tapi kali ini kami dipertemukan kembali dengannya walau hanya sebagai guru pengganti sehari.

"Kangen juga Ibu rupanya sama anak-anak IPA satu ini yaa,"

Ya, sedikit berbasa-basi tidak ada salahnya.

Setelah basa-basi sudah terucap, tidak hanya dari Bu Wike tapi juga Vaily pun menyahuti basa-basi itu agar memakan waktu lama. Tidak ingin belajar niatnya. Namun mau gimana lagi, ya kayak gitu deh...

Bu Wike menerangkan materi yang akan ia sampaikan, yaitu membahas surat resmi dan surat dinas. Yang bisa saja menyambung ke surat-surat yang lain.

"Kalian udah pada tau surat izin kan?" Tanya Bu Wike.

Belum sempat kami menjawab, ia langsung saja melanjutkan.

"Pasti udah pernah nulisnya, iya kan? Nah, di dalem surat izin pasti ada yang isinya 'bersama surat ini, saya memohon izin' dan seterusnya. Menurut kalian kalimat itu benar atau salah?"

Penuturan guru itu selesai, tapi kami pada diam semua. Tidak menjawab, hanya geremeng. Ragu sama jawaban, alhasil malah nanya ke kawan di sebelah.

"Bener kan?"

"Salah tau! Masa bersama?"

"Tapi kan,..."

"Siapa yang jawab benar?" Tanya Bu Wike mengakhiri bisik-bisik tetangga kami.

Beberapa ngacung. Mungkin sebagian. Dan salah satunya Ammir.

"Yang jawab salah?" Tanya Bu Wike lagi.

Tentu saja sisa dari yang ngacung tadi yang mengangkat tangan. Walau ibunya tau kalau sebagian dari mereka ada yang golput. Ntah karena tidak tau, ragu, atau justru tidak tertarik dengan materi. Atau bahkan pada gurunya?

"Kok cuma dua puluh lapan Murid di kelas ini ada berapa?" Tanya Bu Wike memastikan.

Ini ya, jarang-jarang lho Vaily sesenyap ini. Kenapa coba?

"Tiga puluh." Jawab sekelas.

Tapi sang pencetus gaya bangau tiba-tiba membangkitkan suasana.

"Wadoh... ada yang golput ini." Kompor Satria.

"Coba sekali lagi. Harus ngacung semua ya!" Kata Bu Wike ingin memastikan. "Yang jawab benar?"

Ammir dan yang lain ngacung.

"Yang salah?"

Satria dan pengikutnya pun mengangkat tangan lagi.

"Nah, coba perwakilan keduanya maju." Suruh Bu Wike.

Our Stories [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang