Orang-orang mengatakan, dunia memiliki banyak sisi.
Maka inilah sisi gelap dunia yang belum banyak diketahui. Tentang kekuasaan, tentang hak, tentang kekejian, tentang tarik ulur pengkhianatan yang tidak pernah lepas dari jengkal hidup dan pararel.
...
Demi semesta yang dipijak, Nyawa itu akan selalu ada untuk melindungi serta memihak.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada pagi yang sedikit kelabu, tidak ada yang lebih istimewa selain sebuah coretan pena tebal-tebal di atas nomor yang biasa semesta raya sebut dengan tanggal.
Gereja itu sunyiㅡmemang selalu sunyiㅡhanya saja, untuk hari ini rasa sepi lebih mendominasi tiap-tiap sudut, tiap-tiap bangku, dan tiap-tiap lantai mosaiknya yang membawa raga pada tepian altar, tempat di mana sebuah pigura tua terduduk kokoh, berbanding terbalik dengan yang sudah duduk di hadapan pada pagi muram ini.
Serpihan abu telah menyatu dengan tanah, pria itu tahu, sangat tahu. Tetapi ia tidak merasa demikian, karena setiap kali ia datang kemari dengan satu ikat mawar putih, ia bisa merasa kehadiran sosok dalam pigura tersebut hadir di sisinya.
Jiwa milik wanita itu akan selalu ada di mana hatinya berada, menurut Dowoon.
"Selamat pagi, Renata. Aku datang lagi." Dowoon tersenyum, yang anehnya bukan terlihat menyedihkan. "Apa kabar?"
Yoon Dowoon bergeming, sejenak. Ironi. Bisa ia dengar vokal manis wanita itu di dalam ingatan, yang melambai merdu dan biasa mengakhirinya dengan satu sampai tiga kecupan singkat pada pipinya. Bahkan terkadang, Renata akan menggerutu sebal kalau Dowoon sengaja menundukkan tubuhnya sedikit sampai kedua garis bibir Renata menyapa dahinya lembut.
Tanpa disadari, Dowoon mengangguk senang bisa mendengar sebuah jawaban. "Aku juga baik."
Merindukan segala tentang Renata, wanita tanpa netra sempurna itu adalah bagian besar dari hidup Dowoon. Lupakan semua kekurangan yang ia miliki, Dowoon selalu melihat Renata dalam kesempurnaan.
Karena dulu sekali, Renata tak ubahnya seperti wanita normal kebanyakan. Kedai kopi mungil di samping rumah sakit kota adalah tempat dan saksi di mana waktu hampir dua puluh empat jamnya ia habiskan di sana. Senyumnya tidak pernah luruh jika ia berhadapan langsung dengan satu atau paling tidak lima pelanggan setiap harinya, dan di waktu yang sudah ia ingat di luar kepala, pria yang tidak ia ketahui namanya itu selalu datang nyaris pukul sepuluh malam. Tepat satu menit sebelum ia menutup kedainya.
Yoon Dowoon ingat, pertikaian dirinya dengan Renataㅡwanita si pemilik kedaiㅡbermula di suatu malam ketika lagi-lagi ia datang satu menit sebelum kedai beraroma cokelat manis tersebut menggantung tanda 'Tutup' di pintunya.
Wanita bertubuh mungil itu berceloteh panjang lebar, tentang kenapa Dowoon harus datang di saat ia akan tutup, tentang kenapa ia harus meladeni Dowoon atas bisunya selama dua jam sementara ia seharusnya bisa pulang cepat dan beristirahat. Yang mau tidak mau harus membuat jawaban arogansi di dalam diri pria itu terangkat tinggi-tinggi, sebelum akhirnya Renata mendebas kesal dan lebih memilih untuk melupakan pertikaian tidak penting mereka.
Toh, pada lain hari, pria itu kembali datang juga dengan kebiasaan yang tidak pernah berubah.
Namun, hari itu Dowoon datang bukan seperti biasa untuk menghabiskan lingkar waktu sampai pergantian hari. Entah sejak kapan, keinginannya untuk datang terasa semakin menebal jika ia mengingat apa yang sudah wanita mungil itu katakan terakhir kali setelah ia berhasil mendorong punggung Dowoon keluar dari ranah bisnisnya.