Chapter 32 : Strings

376 48 47
                                    

Hidup adalah layaknya sebaris kilatan salur.
Dapat menunjukkan jalan keluar, atau sebaliknya sampai lorong terkusut.

Ruang gelap itu perlahan menghilang tepat pada kerjap ketiga, tergantikan dengan putih berkabut yang cukup asing namun tetap terasa familier

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruang gelap itu perlahan menghilang tepat pada kerjap ketiga, tergantikan dengan putih berkabut yang cukup asing namun tetap terasa familier.

Terkadang perasaan takut untuk sekadar membuka mata selalu ada, atas mimpi buruk yang tidak pernah diketahui bagaimana mulanya dan bagaimana mereka berakhir. Pun membawa jutaan hal yang tidak pasti, serta-merta menjebak setiap nyawa pada ilusi tanpa mengenal siapa atau mengapa. Realita bahkan terlalu takut untuk menurunkan tangan dan membantu, menjadikan nyawa-nyawa di sana harus bertahan sedemikian sulit untuk tetap bertahan hidup di bawah kegelapan.

Menunggu nyawanya diselamatkan atau terselamatkan.

Bersamaan rintik ketakutan itu mulai menggelitik, ia lebih memilih untuk memejamkan matanya sebentar lagi, demi menghapuskan denyut konstan yang mengitari kepala sampai garis tengkuknya. Tubuh itu masih sama, masih merasa sengatan-sengatan nyeri menusuk tiap saraf, menjadikan ia lebih enggan lagi untuk bergerak banyak.

"Aku tahu kalau kau sudah sadar."

Namun sial, suara yang akhir-akhir ini sering bertukar sarkasme dengan dirinya justru terdengar. Maka mau tidak mau, kedua manik sekelam langit malam itu harus terbuka untuk yang kesekian kali, menabrakkan dinding netra pada cahaya terang yang mendingin.

Lantas ujung tajamnya bergerak, menitik sudut terdekat dengan kehadiran seorang lelaki berkacamata yang belum menurunkan tubuhnya dari sofa tersebut sejak tiga jam yang lalu.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Kau tahu."

"Aku tidak akan membuang waktuku hanya untuk bertanya hal yang telah aku ketahui jawabannya."

Bong Jaehyunㅡsi lelaki berkacamataㅡmendengus pelan, menutup buku tebal di tangannya sebelum mengalihkan pandang pada sang lawan bicara. Kenapa ia bisa terus-menerus kalah berargumen dari pria ini?

"Menghindari kremasi kakekku. Apalagi?"

"Sudah aku duga." Wonpil terkekeh tanpa suara, meraup napas panjang seraya mengumpulkan kesadaran yang lebih. "Dan sekarang, kau tampak menyesal."

"Tidak juga." Jaehyun menerawang, retina yang terlindung kaca miliknya itu menatap kosong langit-langit, berharap dapat menemukan sebuah jawaban untuk kelanjutan lembar hidupnya. "Aku hanya tidak tahu lagi harus bagaimana."

Kedua manusia di sana bergeming, memikirkan hal yang berkecamuk dalam pikiran masing-masing. Menciptakan sunyi yang begitu dominan membawa keduanya pada satu konklusi: Tentang alur kehidupan yang sebenarnya belum berhenti, dan tidak akan berhenti meski seutas pencapaian telah dipijak.

Kim Wonpil masih belum bergerak, barangkali ia masih terlalu nyaman dengan rasa sakit itu, atau barangkali ia hanya tidak ingin mengenal lebih banyak distraksi. Tetapi embusan napas transparan tersebut tetap berembus panjang, sebelum akhirnya mengudara bersama bait-bait pendek penuh peringatan dan sarat akan rasa peduli.

The Dark UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang