Orang-orang mengatakan, dunia memiliki banyak sisi.
Maka inilah sisi gelap dunia yang belum banyak diketahui. Tentang kekuasaan, tentang hak, tentang kekejian, tentang tarik ulur pengkhianatan yang tidak pernah lepas dari jengkal hidup dan pararel.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kembali sepasang mata beriris gelap miliknya terbuka. Mengerjap perlahan demi menelisik putihnya cahaya ruang yang entah sejak kapan mengganti seluruh pandangan berlatar hijau serta kelabu, beberapa waktu lalu.
Langit-langit putih. Langit yang tidak pernah ditemuinya lagi di tujuh tahun belakangan, kini kembali dilihatnya disertai dengan embusan napas teratur.
Tidak.
Ini tidak nyata.
Sekali lagi, suara lain dalam sisi dirinya berkata demikian. Terus berulang sampai akhirnya, terpaksa atau mau tidak mau, ia harus menanggung percaya bahwa apa yang dilihatnya memang hanya bunga halusinasinya belaka. Yang sebetulnya kosong tanpa pernah ada.
Kim Wonpil kian merasakan berat di area kepalanya, apalagi, setelah ia berhasil mendudukkan diri dan mengedarkan pandangan luas ke setiap sudut ruang.
Ini kamarnya. Namun tanpa satu orangpun selain dirinya bersama sunyi.
Jadi, karena ia hanya tidak ingin mati ditelan bisu atau sekadar memori kelam, dengan tenaga yang bahkan belum pulih sepenuhnya, ia bangkit dari sana, menyeimbangkan diri. Kembali membuka langkah, menelusuri petak demi petak ruang yang kini berhasil membawanya keluar.
Ini rumahnya. Tanpa ada perubahan drastis seperti perkiraan. Semua masih sama, semua masih tertata seperti dulu. Termasuk, satu dinding lengkap dengan daun pintu yang tertutup rapat di sisi kirinya.
Pintu yang diam-diam menelannya dalam keraguan, dalam imaji yang tidak pernah berhenti dibayangkannya hampir setiap malam menjelang atau pagi menjemput.
"Jika sekali saja aku menyentuhnya, kerja kerasku di bidang pengadilan akan sia-sia. Iya, kan?"
Kim Wonpil menunduk, tersenyum miris mendengar kalimat tinggal memori itu. Yang diucap polos sekali oleh sang adik, yang diucap tanpa pernah tahu ada bahaya di samping itu semua.
"Tetapi, justru aku yang membuat impianmu jadi sia-sia." Ia bermonolog, lirih, seolah takut dunia akan kembali menghakimi untuk kali kedua.
Pada akhirnya, tangan itu bergerak membuka handel tanpa ragu. Membuka apa yang harus dibukanya, melihat apa yang harus dilihatnya, menemukan apa yang harus ditemukannya. Dalam ruang kosong.
Kamar itu kosong. Segala benda tertata begitu apik, seperti biasa, seperti dulu.
Udara sedikit berdebu terembus sejurus langkah kembali melanjutkan pijak, menyusuri petak bersama netra yang bergerak mencari keberadaan. Namun tetap, hasilnya nihil, tidak ia temukan siapa pun di sana. Kalau ada, mungkin itu dirinya sendiri yang sudah kehilangan kekuatan untuk sekadar menanggung beban. Membiarkan raga jatuh di sana, lantas mengembuskan napas sesak yang kian mencekik.