Orang-orang mengatakan, dunia memiliki banyak sisi.
Maka inilah sisi gelap dunia yang belum banyak diketahui. Tentang kekuasaan, tentang hak, tentang kekejian, tentang tarik ulur pengkhianatan yang tidak pernah lepas dari jengkal hidup dan pararel.
...
Waktu adalah bukti, Jika benci tidak selamanya tak bisa terobati.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jari-jemari itu bergerak statis di atas lingkar kemudi, mengetuk-ngetuk permukaan seperti kesabarannya sedang diuji.
Retinanya bergerak, memperhatikan lalu-lalang keramaian di luar sana, namun tetap pada setiap akhir menit, pria Kim itu selalu menghentikan gerak netranya pada titik di mana seharusnya sang partnerㅡChoi Sungyoonㅡakan keluar dari sana dengan segenggam informasi yang mereka butuhkan.
Atau tidak, mungkin hanya untuk Wonpil.
Karena sampai detik di mana Sungyoon kembali memasuki mobil bosnya itu tanpa petunjuk sedikitpun, Sungyoon masih tidak mengerti kenapa Wonpil begitu berusaha melakukan apa saja hanya demi mencari seseorang.
"Kita sudah tidak punya petunjuk, Tuan. Apa yang akan kita lakukan?"
Kim Wonpil bergeming sejenak, diam-diam tidak setuju atas pendapat Sungyoon. Bagi Wonpil, petunjuk itu akan selalu ada, mau bagaimanapun sulitnya, pasti petunjuk itu ada.
"Ibunya."
"Ibunya?"
"Ya, Ibu Jehyung."
***
Jarum jam menunjukkan delapan dua puluh sewaktu jari-jemari itu bergerak teratur memilah rekam kehidupan orang-orang yang datang kemarin, kacamata berbingkai tipisnya yang sedikit menurun dari pangkal hidung bahkan sama sekali tidak diindahkan olehnya.
Secangkir kopi panas yang diraciknya sendiri beberapa menit lalu masih teronggok diam pada tepi meja, meski aroma kafein yang digemarinya terus menguar dan seolah memanggil-manggil, pria berkacamata itu tetap berniat menyesapnya nanti, sesaat setelah ia selesai dengan tumpukan pekerjaan yang belum tersentuh.
Alunan musik klasik di ruangan yang berbeda masih menemani kesendirian, sama sekali tidak mengganggu karena memang itulah apa yang ia sukai. Pun tidak membuat rungunya salah atas pendengaran, atau atas gemerincing lonceng yang bergoyang saat daun pintu kantornya terbuka. Sepertinya yang pertama, untuk hari ini.
Sosok seorang pemuda tinggi berjalan tertata, manik bulatnya mengedar ke sekitar. Sedikit tertarik pada gitar-gitar yang tergantung rapi dan tersusun pada dinding bersarat putih gading.
Namun fokusnya pada senar-senar dan papan fretberdebu itu pecah, seketika setelah vokal ramah menyambutnya di balik meja konseling yang langsung berhadapan dengannya di dalam ruang. Pemuda itu menangkap figur sang dokter berkacamata, yang kini tersenyum ramah dan menunggunya sampai ia bersedia menduduki bangku kayu di seberang meja.