Chapter 12 : Meet The Past

644 108 69
                                    

Tanpa kira, masa kelam tersebut datang.

Yang dulu, yang pernah mengusik,
Yang membuat hati tidak pernah lagi bergerak.

Yang masih dicari kematiannya.

Yang masih dicari kematiannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Tidak ada tempat lain?"

Dengan lesu, wanita di samping Wonpil menggeleng. Rautnya masih tampak berpikir, sementara tangannya masih bergerak membuka lembaran majalah.

Sudah hampir dua jam, keduanya ada di posisi ini.

"Kau itu bodoh atau bagaimana? Rumah tuna netra adalah tempat terbaik, daripada harus mengembalikannya ke tempat ia ditemukan?"

"Tapi tidak tempaㅡJooㅡkau tahu maksudku, bagaimana bentuk rumah itu."

"Aku kira kau tidak peduli?"

"Heiㅡ"

"Iyaㅡiya! Bercanda." Jooeun tersenyum jenaka, kedua jemarinya naik membentuk tanda kutip. "Kalau begitu, kita cari rumah paling baik untuknya, ya. Atau, kita kunjungi saja sekalian?"

"Kau. Bukan kita."

Perdebatan-perdebatan kecil terus terdengar di area itu. Walaupun sebenarnya bukan perdebatan yang serius karena kebanyakan kalimat yang keluar hanya dari mulut Jooeun, sedang lawan bicaranya tidak lebih dari menghela napas singkat, membenarkan letak kacamata, atau sekadar menatap tajam tiada arti.

Hingga lingkar waktu terus berjalan, akhirnya persetujuan dan rencana sudah bulat.

Mereka memutuskan untuk membawa Haera pada salah satu rumah tuna netra dan membiarkannya tinggal di sana serasa lebih baik.

Sebenarnya, sah-sah saja jika Wonpil kembali membuang Haera pada tempat keduanya bertemu, tetapi mengingat ia juga membawa Haera karena menyelamatkan gedungnya sendiri, ini jadi terasa bukan opsi yang baik. Atau mengantarnya lagi pada gereja tempatnya memuja? Tidak. Opsi itu sudah ditolak begitu saja oleh Haera, bahkan setelah keduanya baru saja meninggalkan pemukiman sepi tersebut. Maka pilihan terakhir jatuh untuk membawa Haera pada rumah para tuna netra, meski awalnya perempuan itu tampak berdecak ragu, namun tidak urung untuknya mengangguk setuju.

Masalah selesai. Berakhir dengan Jooeun yang berpikir seharian penuh mencari tempat yang cocok, dan Wonpil yang kembali memacu mobilnya di antara keramaian kota yang nyaris tidak pernah mati.

Kartu nama usang tersemat manis pada jemari yang berkatup rapat dengan lingkar kemudi, dan itulah alamat yang ditujunya.

Kim Wonpil sedikit bersyukur, ketika teleponnya terhubung dengan nomor yang tersedia pada kertas itu, ia segera terhubung dengan seorang pegawai dan bukan dalang utama yang ingin ditemuinya. Jelas, pertemuannya tampak abu-abu.

Kejutan.

Ya, Wonpil berharap kedatangannya yang bermaksud baik-baik ini tidak dihancurkan mentah-mentah oleh si psikiater.

The Dark UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang