Chapter 22 : Distance, Darkness

454 74 35
                                    

Ada waktu di mana semesta pernah memberi pilihan untuk tidak memilih.

Sekitar pukul dua belas malam, pria bermata gelap itu malah melakukan hal yang tidak biasa dilakukan oleh orang kebanyakan di waktu serupa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar pukul dua belas malam, pria bermata gelap itu malah melakukan hal yang tidak biasa dilakukan oleh orang kebanyakan di waktu serupa.

Tidak, tidak. Wonpil hanya sesekali memandangi jadwal penerbangannya untuk esok hari. Sesekali juga, ia mendengus pelan sewaktu ujung matanya bergerak menemukan ponselnya dalam keadaan tanpa kabar di jangkauan lain ranjang tidur hotel.

Sudah lama Wonpil menanti sebuah kabar dari yang ditunggunya, namun sampai ia meremas rambut semi-platinumnya dengan gila pada pukul satu pagi, ia tidak kunjung mendapatkan apa-apa dari yang diharapkan.

Pikirannya tentu berkecamuk, ke mana kira-kira perginya wanita itu? Apa wanita itu berhasil masuk ke dalam lobi apartemennya dengan selamat? Apa wanita itu nekat untuk mampir ke bar lagi? Apaㅡah, sialan. Kenapa Wonpil jadi memikirkannya sedemikian rumit?

Padahal, bisa saja sejak tadi ia meraih ponselnya lebih dulu, lalu mencari kontak yang namanya terasa samar, lantas tanpa berpikir panjang segera ia menghubungi nomor yang dituju.

Kim Wonpil menggeram kesal, saat dengung penghubung terus berbunyi dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jika si pemilik nomor akan mengangkatnya.

Persetan. Sekarang hampir pukul dua dini hari, dan Wonpil sudah meyakinkan diri untuk tidak tidur sampai ada kabar yang ia dapat dari si wanita di distrik seberang.

Agaknya, wanita itu memiliki utang mutlak karena sudah membuat pria Kim ini menunggu.

Maka ketika Wonpil merasa sedikit putus asa terhadap benda di dalam genggaman, seperti biasaㅡia berniat menjatuhkan ponsel tersebut ke sembarang lantai, andai saja, suara bel berdenting tidak terdengar dari arah pintu masuk kamar hotelnya. Terpaksa ia mengembuskan napas panjang, serta sedikit bersyukur karena ia tidak harus kesulitan mencari ponsel pengganti di negara orang.

Tetapi, otaknya kini berpindah fokus pada tanya yang menerka, kiranya, siapa sang pengetuk di balik pintu itu?

Iya, Wonpil lebih dari paham soal negara modern yang tidak pernah mengenal kata tidur ini. Namun bukan berarti orang-orang di dalamnya mau menjadi serupa sinting seperti kota yang masih terjaga sampai dini hari, kan?

Atau sang pengetuk adalah salah satu petugas pelayanan kamar? Tapi seingat Wonpil, ia tidak pernah protes akan apa-apa soal kamar dengan harga fantastis ini.

"Ya?"

Kim Wonpil seketika mematung, beberapa detik.

Karena belum sempat ia membuka daun pintu dengan penuh, raga yang Wonpil yakinkan sebagai sang pengetuk sudah lebih dulu limbung tepat di hadapannya.

The Dark UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang