Chapter 1 : About The Unknown

4.2K 359 99
                                    

Jika ada hal yang paling dibenci, mungkin itu yang dikenalnya sebagai takdir.
Bagaimana takdir itu menghimpit hidupnya, mencekik rongga napasnya di tiap malam, menjatuhi buruk diri tiada ampun sampai rasa tak lagi ada. Lantas jiwa itu menggelap. Mati.

Kim Wonpil tengah sibuk mengetik di hadapan layar komputer dengan wajah tenang, kala panggilan masuk terus-menerus mencari-cari keberadaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Wonpil tengah sibuk mengetik di hadapan layar komputer dengan wajah tenang, kala panggilan masuk terus-menerus mencari-cari keberadaannya.

Tapi siapa peduli, Wonpil sendiri tidak segan-segan melempar lempengan berisik itu pada wajah pintu dan membiarkannya tergeletak mati di sana. Toh, ia tidak harus meraung-raung untuk membeli benda semacam itu, lagipula itu hanya satu dari sekian ponsel yang ia miliki sekarang, karena jika dihitung saja, ponsel setengah rusak milik Wonpil yang telah teronggok di dasar tong sampah mungkin jumlahnya mencapai puluhan.

Tidak bertahan lama, sayangnya. Enam menit kemudian Wonpil kembali diganggu oleh pesan-pesan berisik, kali ini pesan-pesan itu masuk ke dalam kotak surat elektronik dalam komputernya.

Wonpil menghela napas, diperhatikannya nama si pengirim, lalu membukanya dengan malas.

[ YWYitjtxux@naver.com ] :
Jangan lepas tanganmu, Sinting!
Kami dalam bahaya, lalu kau diam saja?!

[ Reply to : YWYitjtxux@naver.com ] :
Berisik, Sinting.
Tidak tahu sopan santun, ya?
Jangan mengganggu di sisa jam kerjaku,
Atau aku akan mengulitimu.
[ Reply to : YWYitjtxux@naver.com ] :
Oh, satu lagi.
Semua akses yang aku miliki untuk menghubungimu dan teman-temanmu telah lenyap, jadi kau tidak boleh berharap aku akan membalas pesan-pesanmu setelah ini.
Hati-hati di jalan, ya. Aku harap kau bisa selamat, dan kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan.

Tidak lagi menunggu balasan apapun, Wonpil segera menutup semua laman kerja setelah menelitinya dengan seksama. Sampai layar di hadapan akhirnya menggelap, barulah ia memutar kursi kesayangannya menjauh dari satu sisi meja ke sisi lainnya.

Pukul lima sore, ketika retina menangkap lingkar waktu, entah kenapa ia merasa begitu lelah, padahal tidak seharusnya ia mengangkat kaki dari ruang kerja di bawah pukul delapan malam seperti biasa. Tetapi biarlah, lagipula tidak ada siapa pun yang berani melarangnya.

Tidak ada pula yang istimewa jika dilihat dari keseharian pria ini, setiap selesai berkutat dengan pasar gelapnya yang terlampau sukses, ia selalu mendahulukan mencari ponselnya yang masih steril di dalam kotak laci. Lantas mencari sebuah notifikasi yang selalu diabaikannya setiap saat.

Dua pesan tidak terbaca, yang menunggunya untuk sore ini. Dan itu sesosok humani yang disebutnya sebagai adik.

Kim Wonpil mengernyit, tidak ada yang penting dari kedua isi pesan itu, hanya tentang humani di ujung sana yang menyuruhnya untuk tidak meninggalkan makan siang, membuat Wonpil mendengus. Persetan dengan makan siang, dirinya terlanjur kehilangan selera makan karena sekelompok koleganya yang payah tengah diburu polisi di penjuru belahan kota lain.

The Dark UndergroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang