Meskipun sulit, realitanya, langkah adalah hal utama untuk bertahan hidup.
Pintu ruangan bernuansa kelabu tersebut terbuka dengan kasar, terpaksa membuat satu-satunya penghuni yang ada menoleh pada asal suara.
Wajah muram sang pemilik ruang bereaksi seketika, dahinya mengerut samar mengetahui tamu tak diundangnya ini sedang dalam kondisi yang buruk. Terbukti lewat surai cokelatnya yang berantakan, serta jas putih kedokteran yang seharusnya tidak dikenakan oleh pemuda itu.
"Di mana Yoon Dowoon?"
"Tidak bisakah kau gunakan sopan santunmu?"
Yang dituju hanya menghela napas berat, tidak berniat menjawab. Menurutnya, bahkan lebih baik untuk menjatuhkan dirinya di atas sofa seraya memperhatikan jas putih yang digunakannya hanya sebagai kedok agar orang-orang tidak curiga.
Atas darah serta luka yang merobek kulitnya.
"Baik, baik." Jibeom memutar bola matanya. "Di mana, Tuan Yoon Dowoon berada?"
"Seperti yang kau lihat, dia tidak ada di sini."
Kim Jibeom menggeram, luka pada lengan di balik balutan jas itu sudah membuatnya kesal di sisa malam ini, dan wanita di sudut ruangan kian membuatnya bertambah jengkel.
Jadi si pemuda Kim membuka langkah-langkah kasar, menghampiri sosok itu dengan sepasang mata bulatnya yang menghunjam, sedikit berharap wanita di hadapannya ini akan meringkuk ketakutan walau kenyataannya tidak akan bisa. Desisan marah masih tertahan di ujung kesabaran Jibeom, namun lawannya sama sekali tidak ragu untuk mempertemukan tatap masing-masing.
"Jangan macam-macam pada saya."
"Yang aku katakan tidak sepenuhnya salah."
"Tetapi kata-kata Anda membuat saya marah."
"Lalu apa? Kau mau membunuhku?"
"Dengan senang hati." Jibeom menarik senyum miring, mendekatkan wajahnya pada sang wanita. "Kalau Tuan Yoon sudah memberi kesempatan. Saya tidak akan membiarkan Anda bernapas lagi, Nona Lin."
Napas berat Jibeom terembus, menyapu pucuk hidung Marry dengan konstan membuat wanita bersurai sebahu itu turut mengelak mundur. Tidak, ia bukannya takut pada rekan yang tidak terlalu dikenalnya ini, hanya saja ia tidak ingin memecahkan kepalanya menjadi serpihan demi mengingat sebenarnya apa yang pernah ia lakukan pada Jibeom.
Entah kenapa, setiap keduanya bertemu, Marry selalu merasa familier dengan wajah tirus seorang Kim Jibeom, bahkan suaranya pun seperti pernah bersua dengan dirinya. Namun semua potongan kuriositas itu tidak pernah terjawab, jaringan otaknya terlampau lemah untuk sekadar mengingat. Atau mungkin, memang tidak lebih dari sugestinya belaka.
"Keluar dari ruanganku, sekarang. Atau aku yang akan membunuhmu."
Kim Jibeom meloloskan tawa kecil, menjejak satu langkah mundur seraya mengangguk. "Benar. Kita seharusnya mati bersama."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Underground
FanfictionOrang-orang mengatakan, dunia memiliki banyak sisi. Maka inilah sisi gelap dunia yang belum banyak diketahui. Tentang kekuasaan, tentang hak, tentang kekejian, tentang tarik ulur pengkhianatan yang tidak pernah lepas dari jengkal hidup dan pararel. ...