"Karena setelah melihatmu,Allah tumbuhkan keyakinan itu semakin kuat. Keyakinan menikahimu"
--------------------------------
-RAHMAN-
20 April 1995
Usiaku kini 25. Sudah cocok untuk membina keluarga jika kata bapak, dan kata ibu sudah cocok ia diberi cucu. Ada-ada saja memang. Menikah tidak sesederhana itu kan?
Bisnis properti ku sedang berkembang baik lima tahun terakhir ini, jam mengajarku pun di sekolah aman-aman saja. Tak timpang, semuanya alhamdulillah berjalan sesuai harapan. Meski kadang ada satu dua hal yang diluar dugaan, anggap saja itu sebagai bumbu-bumbu kehidupan.
"Jangan lupa diproteksi waktumu, Man. 20 April nanti seperti yang sudah bapak bilang, kita akan bersilaturahim ke rumah Pak Ridwan, demi menggenapkan puzzle kehidupanmu yang belum utuh itu!" ujar bapak tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh padanya, tersenyum. Kemudian mengangguk pelan. Sejak aku lulus SMA dulu dan memutuskan merantau ke Bandung demi melanjutkan pendidikan, bapak sudah mewanti-wanti agar aku tak jatuh cinta pada sembarang hati. Kadang aku heran dengan cara berpikir bapak kala itu. Jatuh cinta kan diluar mampu kita, tak bisa ditawar-tawar, begitu pikirku. Beliau juga bilang, ada hati yang harus aku jaga. Jelas aku kaget mendengarnya. Bagaimana tidak, aku tak pernah dekat dengan perempuan manapun sejauh ini selain Ibu dan Sarah, adikku. Bapak menjelaskan dengan hati-hati, jika beliau dan ibu telah memutuskan menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Sri Aisyatul Ridwan, beliau bilang namanya. Yang jelas aku blur dengan gambaran perempuan itu. Tapi sedikit keyakinanku tumbuh dan berhusnudzhan bahwa bapak dan ibu pasti memilihkan yang terbaik untukku, seperti dalam segala hal selama ini.
***
20 April itu tiba.
Aku sudah tak karuan dari sehari sebelumnya. Ibu sudah mewanti-wanti agar aku pangkas rambut, tak lupa sampai memakai minyak wangi pun beliau ingatkan. Sepertinya niat ingin punya menantunya memang sungguh-sungguh. Lah, memang aku tak sungguh-sungguh? Entahlah, aku masih sedikit pusing dengan perasaanku sendiri.
Kami berangkat pukul 09.30 dari rumah. Bapak bilang untuk menuju rumah Pak Ridwan hanya memerlukan waktu kurang lebih 30 menit. Dan benar saja, tepat pukul 10.00 sedan bapak mendarat dengan selamat di halaman rumah bercat biru itu.
Pak Ridwan dan Bu Ridwan menyambutku, bapak juga ibu dengan begitu hangat. Apakah kamu secair kedua orang tuamu, Sri? Tanya ku dalam hati.
Setelah menunggu di ruang tamu, Bu Ridwan hadir dengan empat anaknya. Dua laki-laki dan dua perempuan. Kamu sulung, kata bapak. Amat mudah bagiku mengenalimu dari dua perempuan yang baru saja datang. Kamu pasti yang memakai gamis warna biru, kan? Semoga aku tak salah menebak.
"Nah, Man. Ini Nak Sri Aisyatul Ridwan. Panggil saja Sri. Dia lulusan IKIP Bandung" ujar bapak memulai jurus basa-basinya.
"Dan Nak Sri, ini putra Bapak, namanya Rahman Baitsul Muhsyi. Panggil saja Rahman" ujar bapak lagi.
Dia mengangkat kepalanya sebentar. Tersenyum, sambil menangkupkan kedua tangannya di dada, dan aku melakukan hal yang sama.
Tak banyak yang dibicarakan pada pertemuan pertama ini. Setelah acara inti selesai, ditutuplah acara lamaran tersebut dengan sesi makan siang, sambil membicarakan beberapa hal.
"Pak Ridwan, insyaallah jika tak ada halangan berarti, dua minggu setelah hari ini, kami sekeluarga akan memutuskan bersilaturahim kembali. Kita berembug memutuskan tanggal akad dan walimatul ursy, bagaimana?" Tanya bapak sambil memotong makanan dipiringnya.
"Dengan senang hati, Pak Ali. Kami menunggu kabar baiknya" ujar Pak Ridwan dengan sumringah.
"Iya insyaallah. Kebetulan Rahman ini tidak mau berproses lama-lama, terlebih jika sedari awal sudah lancar begini. Dia sering bilang sama saya, membuang-buang waktu saja katanya" papar bapak sedikit membuka kartuku.
"Kebaikkan alangkah baiknya memang disegerakan, Pak" timpal Pak Ridwan.
Dan hari itu, semua berjalan begitu saja. Lamaran itu telah terjadi, meski tanpa dua perasaan yang ingin sama-sama melebur. Semoga lambat laun, perasaan itu perlahan tumbuh. Karena setelah melihatmu, Allah tumbuhkan keyakinan itu semakin kuat. Keyakinan menikahimu. Meski masih tanpa cinta. Karena aku yakin, kamu perempuan baik-baik,dan tak sepantasnya aku menampik pilihan bapak. Semoga kamu memang seistimewa prasangka kedua orangtuaku, Sri. Hingga akhirnya mereka memilihmu, untukku.. lirihku dalam hati.
***
Selesai diketik 07.14
Dengan suasana pagi yang masih teramat dingin.Cerita ini ditulis di buku untuk pertama kali pada 23 Juni 2019.
Udah mulai ada feel nya belum sih? Hehe
Mimilel
![](https://img.wattpad.com/cover/192550299-288-k836100.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf
RomanceTentang sebuah kisah cinta rumah tangga sepasang anak manusia yang bermula saling dijodohkan, hingga akhirnya sama-sama saling menghargai, sama-sama belajar menumbuhkan cinta. Dan saat cinta itu telah tumbuh sekitar 21 tahun dalam biduk rumah tangg...