30 - Meminta Izin

7.8K 380 39
                                    

"Jika aku memaksa diriku menjadi gurun saat ini, maka kamu tak kalah bersikerasnya memaksa dirimu menjadi kutub"

--------------------------------

-RAHMAN-

Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah Sri. Maryam sudah jauh kelihatan membaik dibanding beberapa hari ke belakang. Meski napsu makannya masih jelek, ditambah rona wajahnya yang menghilang, tetap saja aku tak bisa meninggalkan Sri terlalu lama. Tak adil rasanya bagi perempuan itu.

"Mas pamit ya, De. Insyaallah Mas akan jauh lebih adil kedepannya. Jangan berpikiran macam-macam!" ujarku pada Maryam sambil mengelus lembut kepalanya.

Dan dia hanya menatapku tersenyum tanpa sepatah kata, senyum yang terlihat kaku.

Disinilah aku sekarang, di rumah besarku yang pertama. Namun tak ku dapati Sri ada disini. Dia memang tadi sempat mengirimi aku sebuah pesan perihal izinnya menemui sahabat lamanya, dan aku tanpa banyak kata memberikan izin tersebut.

"Mas bangun sudah sore"

Aku mendengar sayup-sayup suara seorang perempuan disampingku. Sambil mencoba membuka mata dan menormalkan kesadaran, aku mencoba bangkit perlahan. Ku dapati Sri ada disampingku. Rupanya tanpa sadar aku ketiduran di ruang tengah sejak satu jam yang lalu.

"Hai, Dik. Sudah lama sampai?" Tanyaku setelah setengah kesadaran ku pulih.

Dia hanya mengangguk pelan.

"Jadi, bertemu siapa tadi?" Tanyaku kemudian sambil menghadapkan badan padanya.

"Elly, Mas. Teman SMA ku dulu" jawabnya singkat.

"Oiya-iya, Mas ingat. Kenapa tak minta dijemput" tanyaku kemudian.
"Berangkat saja aku bisa sendiri, kenapa pulang tak bisa sendiri" ujarnya, entah bermaksud menyindir ataupun tidak.

Hening menguasai kami beberapa saat.

"Apa yang terjadi dengan Maryam, Mas?" Tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Aku menarik napas perlahan. Aku sudah menduga pertanyaan ini memang sudah menantiku, tapi semoga jawabanku kali ini tak membuat kejadian pertengkaran malam itu terulang.

"Maryam keguguran dan Mas tidak bisa meninggalkannya sendirian" jawabku jujur apadanya.

Sri sesaat menatapku kaget sebelum akhirnya kembali membuang pandang.

"Ya sudah, Mas. Aku mau mandi dulu. Mas pasti belum sholat ashar, jangan lupa ke masjid" lirihnya sambil beranjak menuju kamar.

"Dik, jangan marah!" Rengekku dengan suara lemah.

"Aku mengerti, Mas" ujarnya dengan tanpa menatapku sedikitpun.

Dan aku hanya bisa mengacak rambutku, frustasi.

Ada rasa sesal yang mendera,
Meski aku tak tahu,
Itu perihal apa

***

"Dik..." sapaku pada Sri sesaat sebelum tidur.

Dia hanya menoleh sekilas padaku. Kemudian fokus kembali pada buku yang sedang dibacanya, tafsir Al Azhar.

"Dik..." ulangku lagi.

Kini dia terlihat membuang napasnya kasar, kemudian menatapku lekat tanpa menghadapkan badannya padaku. Tak ada sepatah kata pun ia lontarkan, tapi tatapan dinginnya cukup aku mengerti sebagai sebuah pertanyaan darinya.

"Mas minta izin seminggu ke depan, setelah sepekan ini disini untuk kembali ke rumah Maryam" ucapku dengan hati-hati.

Belum ada tanggapan sedikitpun.

"Kondisi mentalnya belum stabil. Dia selalu terlihat melamun" lanjutku lagi.

Dan Sri hanya menatapku lekat, sebelum kemudian mengangguk pelan.

Hanya sebuah anggukan kecil, dan aku merasa seperti berbicara dengan seorang tunawicara, dan Sri mungkin memang seorang tunawicara malam ini--tunawicara terkait perasaannya padaku.

Aku membuang napasku kasar. Hal yang paling ditakutkan lelaki,  sekaligus hal yang tak disukainya adalah didiamkan oleh wanitanya tanpa kata, mendiamkan balik sama berbahaya dan berusaha peduli kadang dianggap tak ada. Wanita memang istimewa dengan segala teka-tekinya.

***

Alhamdulillah alaa kulli hal, part 30 kelar.
Ditulis pada 09 September 2019, dengan suasana Senin yang harus semangat on hehe

Kira-kira kedepannya gimana sih ini hubungan😅 rumit amat dah

Terima kasih untuk semua pihak yang telah menyempatkan membaca cerita sederhana ini. Terima kasih untuk waktu juga kuotanya😊

I miss you:-)

Mimilel

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang