5 - Ikrar (Cinta)

4.5K 282 1
                                    

"Dan sejak saat itu, Mas,
perlu kau tahu,
Aku mulai sedikit mencintaimu,
Semoga kamu pun begitu"

--------------------------------

-SRI-

16 Juni 1995

Hari penting itu tiba. Rumahku sudah sejak seminggu yang lalu terasa amat ramai. Sanak saudara jauh dan kerabat dekat semua hadir ikut menyambut momen bahagia.

Sejak selesai shalat subuh tadi, aku sudah sibuk didandani. Ummi terlihat amat bahagia hari ini. Apakah memang seperti itu setiap ibu jika anaknya akan menikah? Linda sejak tadi tak jauh dari sampingku, seminggu ini dia mendadak manja berkali-kali. Katanya terakhiran, nanti tak akan bisa sebebas ini denganku.

"Mbak, mau akad lebih deg-deg-gan dari lamaran ya?" Tanyanya tiba-tiba.

"Heem.. dan lebih akan deg-deg-gan jika lelakinya adalah ia yang kamu harapkan" ujarku pelan.

"Semoga pilihan Abah dan Ummi adalah yang terbaik ya, Mbak" tukasnya sambil memegang kedua bahuku.

"Aamiin. Insyaallah" jawabku membesarkan hati.

Tepat pukul setengah sembilan, aku telah selesai disulap cantik untuk menjadi ratu sehari di pelaminan, dengan kebaya putih dan kerudung putih yang senada, rok batik yang elegan, dan hiasan rangkaian bunga melati yang tak kalah cantik menghias kepala.

Pukul sembilan Ummi menjemputku ke kamar. Aku melihat ada setangkup haru pada kedua matanya.

"Ayo, sayang, calon mempelai prianya sudah datang. Begitu juga pak penghulunya" ujar Ummi padaku.

Ummi memapahku keluar. Tanganku terasa amat dingin sejak tadi subuh. Mungkin inilah yang dinamakan dengan nervous oleh sebagian anak muda zaman sekarang.

Sesampainya di aula, Ibu langsung memelukku dengan haru.

"Cantik sekali calon menantu, Ibu" pujinya sambil memegang kedua tanganku. Dari sorot matanya, aku bisa melihat bahwa perempuan dihadapanku memang berjiwa penyayang sepertinya.

"Terima kasih, Bu. Semua berkat ibu juga, telah menyiapkan perias terbaik dari kota ini" ujarku. Aku kembali memeluknya sekali lagi.

Sebagian orang yang melihat adegan ini pasti menyangka bahwa aku amat menginginkan pernikahan ini. Kedekatanku dengan Ibu Mas Rahman, juga senyum yang berusaha aku sunggingkan sejak memasuki aula, mencuri perhatian mereka. Bisik-bisik ada yang bilang "serasi", tak sengaja barusan aku dengar saat lewat. Dan tak ada salahnya bukan prasangka oranga-orang itu aku aamiinkan, semoga melangit jadi doa.

Tepat pukul 09.15 akad nikah itu dilaksanakan. Sebelum ijab qobul dilangsungkan, aku menunggu di tempat terpisah yang telah disediakan dengan ditemani Ummi juga Ibu. Mas Rahman tak mau duduk berdampingan sebelum halal, begitu kata ibu. Dan dia pikir aku mau begitu?

"Saya terima nikah dan kawinnya Sri Aisyatul Ridwan binti Bapak Ridwanul Hakim dengan mas kawin tersebut dibayar tunai". Mas Rahman mengucapkan ikrar itu amat lancar, meski dari kejauhan sesekali aku mendapatinya mengusap keringat didahi yang aku yakin itu muncul karena ketegangannya.

"Bagaimana saudara-saudara? Sah?" Tanya penghulu.

"Saaaaah.." ucap para tamu yang hadir serentak.

Dan saat kata sah itu menggaung di langit-langit aula, tubuhku bergetar hebat karena haru. Setetes kristal bening tak dapat ditahan jatuh dari mataku. Ada selaksa haru yang tiba-tiba menyerbu, meski pada awalnya pernikahan ini bukan inginku, juga mungkin bukan inginnya.

Ummi memelukku erat, mengecup keningku berkali-kali, air matanya sudah mengalir sedari tadi, begitu pun ibu.

Dan akad itu terasa makin syahdu, saat ditutup dengan doa dari penghulu.

Setelah akad selesai, Ibu mengajakku menghampiri Mas Rahman. Dan sepertinya lelaki itu juga akan melakukan hal yang sama, terbukti dia lebih dulu menghampiriku. Kami beradu pandang sejenak, saling tersenyum samar satu sama lain, sebelum kemudian saling menunduk kembali.

"Ayo, Nak, salim dulu pada suamimu!" Bisik ibu mertuaku.

Aku mengatur napas sebisa mungkin agar lebih tenang. Mencoba memandangnya sekali lagi. Dan dia sudah menatapku dengan tersenyum. Dan kenapa lelaki ini mudah sekali untuk tersenyum, aku merutuk dalam hati.

Aku memberanikan diri mengulurkan tangan. Dan tangan itu kini bersambut, saling beradu untuk pertama kali dalam kehalalan. Aku mencium tangannya takdzim, dan dia mengelus kepalaku lembut.

Saat aku bangkit dari mencium tangannya, aku memandang haru Mas Rahman sekali lagi. Dan dia balas menatapku lembut sambil tersenyum.

Selang kemudian, ia menarik tanganku lembut agar lebih dekat dengannya. Satu tangannya memegang ubun-ubunku, dan satu tangan yang lain memegang pundakku. Dia membaca doa indah itu. Doa memohon kebaikkan atas sebuah pernikahan. Aku berusaha memejamkan mataku yang sudah mulai memanas. Dan aku gagal, air mata haru itu menetes juga pada akhirnya.

Tubuhku serasa disengat listrik, saat tanpa sadar sebuah tangan kekar menghapus jejak air mata yang tertinggal pada pipiku. Dan lagi-lagi dia tersenyum. Dan aku merasa kedua kaki ku tak menjejak bumi, saat ku dapati sepasang tangan menangkup pipiku, dan sebuah kecupan mendarat tepat dikeningku. Sontak membuat semua hadirin bergemuruh melihat adegan ini. Aku merasa pipiku mulai memanas dan merona jadi merah. Aku merutuk dalam hati menyalahkan Mas Rahman yang seperti itu. Tapi seulas senyum tak bisa lagi aku bendung, karena sejak saat itu Mas, perlu kau tahu. Aku mulai sedikit mencintaimu, semoga kamu pun begitu.

***

Ditulis selama 47 menit.
14 Agustus 2019, 07.17.

Maaf ya kalo gambaran nikahnya terkesan kaku, abis belum ngalamain juga kan :-D lah kok jadi curhat.

Jadi, Sri udah sedikit naruh hati ni sama Rahman. Tapi Rahman nya sendiri gimana ya?

Mimiel

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang