"Dan mendua adalah apa
yang akan membuat seorang lelaki terlihat tak lagi sama dimata perempuannya"--------------------------------
-RAHMAN-
Ibu menelponku tadi sore, memintaku nanti malam untuk berkunjung ke rumahnya. Dari nada suaranya ditelpon, aku sudah dapat menduga bahwa ibu telah mengetahui masalahku dan Sri tadi malam. Meski aku tahu Sri bukan tipikal perempuan pengadu, tapi ibu sudah pasti bertanya-tanya perihal mata Sri yang bengkak tak biasa.
***
Tepat sepuluh menit menjelang Isya, aku sampai di rumah ibu. Ku dapati bapak dan ibu sudah menunggu di ruang depan.
"Duduk, Man!" Perintah bapak setelah aku menyalami keduanya.
Aku tanpa basa-basi menurut.
"Cerita pada bapak, apa yang sebenarnya terjadi!" Ujar bapak kemudian.
Belum sepatah katapun keluar dari bibirku. Aku merasa benar-benar didakwa malam ini. Oleh dua hakim agung sekaligus yang amat sangat mengenalku.
"Bapak bukan ingin mencampuri urusanmu, Man. Tapi sebagai orang tua, bapak dan ibu harus tahu urusanmu yang satu ini. Karena ini bukan menyangkut perihal keluarga kita saja, tapi keluarga Sri juga keluarga perempuan barumu itu" ujar bapak lagi.
Ada bagian hatiku yang terasa tak nyaman saat bapak menyebut kata perempuan barumu itu. Seolah-olah disini bapak menyudutkan Maryam atas kesalahanku, atau ini hanya perasaanku saja yang sedang sensitif. Entahlah..
Aku mengatur napasku perlahan, mencoba mengatur diri setenang mungkin. Karena bagaimanapun semua ini harus dijelaskan dengan baik, agar dapat tersampaikan tanpa membuatnya semakin runyam.
"Rahman memang salah, Pak. Tak berterus terang sedari awal pada Bapak, Ibu, terutama pada Sri. Rahman memang menikah lagi, Sri sudah bilang perihal itu bukan? Dengan seorang perempuan beranak satu. Namanya Maryam Hasyim, tetangga Rahman di lokasi bisnis proferti Rahman dan Sri yang ketiga" paparku dengan suara bergetar. Entahlah, aku selalu merasa tak enak menceritakan bagian itu pada siapapun. Entah karena apa.
"Ibu tak pernah mendidikmu untuk berbohong, Man! Dan ibu tak pernah mendidikmu untuk menyakiti hati perempuan!" Tegas ibu dengan suara penuh emosi.
"Semua bisa dibicarakan baik-baik bukan, Man? Bukankah di bangku kuliah dulu kamu sudah biasa mencari jalan keluar atas sebuah masalah dengan cara didiskusikan?" Tanya bapak padaku.
Dan aku kembali tersindir atas kalimatnya. Kembali merasa betapa bodohnya diri ini.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan? Meninggalkan Sri dan memboyong perempuan itu ke sini? Maaf, Man! Ibu belum sudi!" Sinis ibu padaku.
Bapak terlihat menatap ibu, mengisyaratkan agar ia lebih tenang.
"Minta maaflah pada Sri! Dan buktikan padanya bahwa kamu tidak akan mengulangi kebodohan ini dua kali. Ingat pesan Bapak, semua masalah hadir untuk diselesaikan. Dan jika kamu membiarkan semua ini berlarut-larut, maka Bapak akan merasa gagal dan sia-sia membersamai kamu 22 tahun yang lalu meminta ia pada orang tuanya. Ingat, kuncinya dikomunikasikan. Itu pun jika kamu memang masih berniat mempertahankan hubungan ini!" Nasihat bapak padaku. Ia menepuk-empuk pundakku sebentar, kemudian pergi berlalu menuju kamarnya.
Tersisalah aku dan ibu di ruang depan ini, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa canggung pada ibu.
"Maafkan Rahman, Bu" ujarku memutus keheningan.
Ibu hanya menimpali permintaan maafku dengan tatapan tajam.
"Rahman akan usahakan untuk memperbaiki semuanya!" Ujarku lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf
RomanceTentang sebuah kisah cinta rumah tangga sepasang anak manusia yang bermula saling dijodohkan, hingga akhirnya sama-sama saling menghargai, sama-sama belajar menumbuhkan cinta. Dan saat cinta itu telah tumbuh sekitar 21 tahun dalam biduk rumah tangg...