15 - Rapuh

7.4K 370 3
                                    

"Pada kepercayaan yang meretak,
semoga tak berakhir berserak"

--------------------------------

-SRI-

Selepas pertengkaran hebat malam itu, Mas Rahman terasa asing dimataku. Tak ada sepatah katapun tegur sapa diantara kami ketika pagi menyapa. Dan aku memutuskan tidak akan menyapanya duluan.
Pagi ini, aku dan Hasna memutuskan untuk menjemput Hafidz dan adik-adiknya ke rumah Ibu, tanpa berniat memberitahu ibu perihal semalam. Kecuali, jika ibu bertanya duluan, itu beda cerita.

Mas Rahman terlihat sedang sarapan di meja makan saat aku dan Hasna akan berangkat.

"Sri sama Hasna mau jemput anak-anak. Assalamualaikum" ujarku pada Mas Rahman.

Nyatanya aku kalah, aku menyapanya duluan pagi ini. Sejujurnya aku enggan meminta izin padanya, tapi aku ingat pada akhirnya, bagaimanapun dan semarah apapun aku pada Mas Rahman, Mas Rahman tetaplah suamiku, izinnya adalah apa yang akan membuat langkah-langkah ke syurga itu jadi lebih dekat.

"Fii amanillah, Dik. Waalaikumsallam" jawabnya dingin.

***

30 menit kemudian, sampailah aku dan Hasna di rumah Ibu. Anak-anak terlihat sedang menemani ambunya diluar menikmati udara pagi.

"Bundaaa" teriak Haikal saat melihatku mendekat ke arahnya, dan aku hanya tersenyum demi mendengar teriakannya sepagi ini.

Ibu menyambut aku dan Hasna dengan hangat. Dan Hasna langsung menghambur dalam pelukannya.

"Kamu sehat, sayang?" Tanya ibu saat tiba menerima uluran tanganku.

Aku hanya tersenyum mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Hasna kalau belum sarapan, di meja makan masih ada urap daun singkong kesukaan Nana" ujar ibu pada Hasna.

Hasna hanya mengacungkan dua jempol tangannya.

"Sepertinya kita harus mengobrol hangat pagi ini, Nak" ujar Ibu padaku.

Aku menatap ibu beberapa saat, kemudian mengangguk pelan tanda setuju.

"Bundanya Ambu pinjam sebentar ya! Ambu kangen sudah lama tidak mengobrol berduaan sama Bunda kalian" pinta ibu pada anak-anak.

Dan mereka mengangguk dengan kompak.

***

Ibu mengajakku ke halaman belakang. Halaman yang telah ia sulap jadi kebun bunga dengan kolam ikan yang tak terlalu besar. Disamping kolam tersebut tumbuh sebuah pohon mangga yang dibawahnya tepat terdapat dua kursi dan satu meja, ibu mengajakku duduk disana.

"Ibu melihatmu sepertinya tidak baik-baik saja, Nak" Ujar ibu membuka pembicaraan.

Aku hanya menunduk tanpa sepatah kata.

"Ceritakan pada ibu apa yang sebenarnya terjadi!" Ujarnya lagi kemudian.

Aku menarik napas perlahan, memberanikan mengangkat kepala sedikit dan memandang wajah ibu, wajah perempuan yang teramat teduh itu.

"Aku bertengkar dengan Mas Rahman, Bu" ujarku dengan suara parau.

Ibu menarik napas panjang demi mendengar kalimatku barusan.

"Pertengkaran hebat yang tak pernah terjadi sebelumnya. Mas Rahman, Mas Rahman membohongi Sri selama 2 tahun terakhir ini, Bu." Dan air mataku mulai jatuh perlahan tak tertahan.

Ibu masih mendengarkan dengan seksama.

"Dia.. Dia..." kalimatku kembali terpotong oleh sedu sedan yang tak karuan. Lidahku kelu untuk mengucapkan kalimat pengkhianatan itu.

"Dia kenapa, Nak? Rahman kenapa?" Tanya ibu sedikit khawatir.

"Mas Rahman sudah menikah lagi sejak dua tahun ke belakang. Dan Sri, Sri baru tahu tadi malam"

Dan prang. .
Ibu menjatuhkan cangkir teh manisnya yang sedari tadi ia pegang.

"Kau, kau tak sedang bercanda pada Ibu kan, Nak?" Tanya ibu sedikit memastikan.

Aku menggeleng lemah.

"Astaggirullah.. astagfirullah" Ibu mengulang istigfarnya beberapa kali demi mendengar perkataanku.

Aku sesenggukan tak kuat melanjutkan cerita, dan ibu memelukku sambil sesekali mencium kepalaku yang terbalut hijab demi membuat aku tenang.

***

Ditulis pertama kali di buku pada 30 Juni 2019. Disalin di wattpad pada 21 Agustus 2019. Rajin ya nulis dua kali haha (kepaksa)

Kira-kira apa yang bakal terjadi selanjutnya sama Sri?
Rahman kira-kira bakal diapain ya sama Ibunya?

Terima kasih untuk yang selalu menyempatkan membaca cerita sederhana ini😊

I miss you:-)

Mimilel

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang