Bagian 11 : Persidangan (4)

44 2 0
                                    

Dengan hati-hati, Brentt mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang membalut tubuhnya.

Dibalik kaus putih dan sweater gelap yang dikenakannya dapat terlihat luka memanjang di perut bagian bawahnya yang sedikit menganga.

Dua orang perawat yang berdiri didekatnya saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya mulai menjalankan tugasnya masing-masing.

Salah seorang diantaranya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya ketika menyadari bahwa luka yang ada di tubuh Brentt begitu dalam.

Sambil berusaha tetap tenang, perawat itu segera menyiapkan jarum suntik dan obat pereda sakit sebelum akhirnya kembali pada Brentt.

"Mr. Brentt, anda akan merasa sedikit sakit. Jadi tahanlah sebentar saja, kami akan menutup luka jahitan anda yang terbuka"

Tanpa menyahut, Brentt biarkan perawat itu menancapkan jarum suntik di lengan bagian kanannya.

Rasa sakit yang menderanya selama perjalanan menuju Rumah Sakit tadi perlahan mulai berkurang akibat efek obat yang mulai bekerja padanya.

Ketika seorang perawat yang lain mulai menyentuh dan mengobati lukanya, Brentt pejamkan matanya sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit diatasnya.

Sudah satu minggu berlalu namun luka yang dimilikinya belum juga pulih. Rasa sakit yang sesaat tadi menghilang, kini mulai datang lagi saat perawat itu membersihkan bagian kulit dalamnya yang terkoyak.

Sambil menggigit bibirnya, Brentt tatap pantulan dirinya dari kaca jendela ruang gawat darurat. Disana ia bisa melihat perawat berambut merah itu membuka sebagian jahitan lama pada lukanya lalu menutupnya dengan jahitan baru.

Untuk beberapa saat lamanya, Brentt tertegun menatap dirinya sendiri. Entah mengapa ia begitu familiar dengan suasana ini.

Beberapa bekas luka lama pada tubuhnya yang terlihat dari pantulan kaca jendela didekatnya seolah mengembalikannya pada kejadian lampau yang sangat samar.

Dia juga sedang terbaring dalam posisi yang sama dengan kedua matanya menatap lekat-lekat pantulan dirinya seperti sekarang.

Namun waktu itu ia tidak sendirian.

Banyak lelaki dan perempuan berpakaian putih yang ramai mengelilinginya. Diantara kegaduhan itu, Brentt juga mendengar suara bising peralatan medis yang memekakkan telinganya.

Tanpa sadar, Brentt seolah ditarik kembali dalam suasana itu. Suasana dimana ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menatap pantulan dirinya dari kaca jendela ruang gawat darurat yang terletak tidak jauh darinya.

Suasana yang baginya terasa begitu suram karena orang-orang disekitarnya mulai berteriak satu sama lain dengan panik kemudian memberikan tatapan khawatir kepadanya.

Brentt terpaku menatap pantulan dirinya.

Kedua mata birunya seketika membulat.

Ia tidak bisa membendung lagi rasa sesak yang menyerang dadanya secara tiba-tiba. Ia butuh ruang untuk bernafas dan lari dari situasi suram yang menakutkan ini segera.

Secara refleks, Brentt akhirnya bangkit dari pembaringannya.

Ia tatap wajah kaget kedua perawat didekatnya dengan ekspresi cemas.

Lost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang