Bagian 16 : Perjalanan (1)

41 3 0
                                    

Brentt menatap lama wajahnya dari pantulan cermin wastafel dihadapannya.

Selama hidupnya, ia tidak pernah menyukai tampilan asli dirinya seperti ini.

Meskipun bagi kebanyakan orang, wajah dan penampilan yang dimilikinya begitu menawan, namun Brentt tidak pernah sekalipun menganggapnya demikian.

Ia benci setiap garis-garis sempurna yang melekat di wajahnya termasuk kedua mata biru jernih yang kini sedang menatap dirinya.

Dadanya selalu merasa sesak setiap kali melihat pantulan wajahnya di cermin.

Dalam lubuk hatinya, ia selalu berharap bisa meninggalkan identitas aslinya dan menjalani sisa hidupnya menjadi sosok yang berbeda.

Namun sayangnya, itu hanyalah angan belaka.

Seumur hidup ia tidak akan pernah bisa lari dari identitas yang dimilikinya ini.

Setelah membasuh pelan wajahnya, Brentt segera membuka pintu cermin wastafel dan mengambil sebuah botol penuh berisi pil anti-depresi.

Ia tuang beberapa butir pil tersebut ke telapak tangannya lalu meminumnya dengan seteguk air.

Ia kemudian memejamkan matanya sesaat sambil menunggu efek obat tersebut bekerja.

Sudah sebulan lebih ia mengalami kecemasan akut. Meskipun sebelumnya Brentt masih bisa mengendalikan kondisi tersebut, namun semakin lama serangan kecemasan itu semakin menyiksa dan menguras energinya.

Sebelum Brentt sempat menutup pintu cermin wastafel dihadapannya, tiba-tiba terdengar suara bel nyaring berulang kali dari pintu apartemen.

Dengan langkah malas, Brentt akhirnya meninggalkan wastafel kamarnya menuju pintu.

Ia raih kenop pintu dihadapannya lalu membukanya dengan cepat.

Ia sudah bersiap untuk meluapkan kemarahannya pada tamu tidak sopan yang telah mengganggu ketenangannya dengan menekan bel apartemennya berulang kali.

Namun Brentt seketika menahan amarahnya ketika mendapati seorang perempuan muda telah berdiri di ambang pintu dengan mata memerah.

Untuk beberapa saat Brentt terdiam. Ia masih sulit mempercayai hal yang sedang dilihatnya sekarang.

Sama seperti dirinya, sosok perempuan tersebut juga terdiam di tempatnya berdiri tanpa sepatah kata.

Airmatanya yang sudah lama mengering kini kembali basah sejak Brentt membuka pintu apartemen untuknya.

Tidak lama kemudian, perempuan tersebut melangkah maju dan merangkul erat tubuh tegap Brentt dengan lengannya.

Brentt tercekat.

Ia tidak menyangka sosok perempuan itu akan datang kepadanya seperti ini.

Sudah terlalu banyak penolakan darinya.

Brentt bahkan sudah mulai bisa merelakannya.

Tapi merasakan kembali pelukan hangatnya seperti ini seolah membangkitkan lagi semua kenangan manis yang telah berhasil dikuburnya.

Brentt biarkan sosok itu berdiam lama di dadanya. Merasakan degup jantungnya yang kian cepat. Ia begitu mendambakan momen seperti ini. Momen dimana ia merasa dibutuhkan oleh sosok yang sangat istimewa baginya.

Lost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang