Bagian 19 : Perjalanan (4)

46 3 0
                                    

Brentt terhenyak sesaat dirinya terbangun dari tidurnya.

Sambil menatap langit-langit kayu diatasnya, Brentt mengusap wajah berkeringatnya dengan tangan gemetar.

Mimpi yang baru saja dialaminya terasa sangat nyata baginya.

Dengan wajah cemas, Brentt segera bangkit dari pembaringannya lalu berjalan cepat menuju wastafel penginapan.

Ia tatap dirinya lekat-lekat pada sebuah cermin di hadapannya, kemudian membasuh wajahnya dengan air hangat.

Untuk sejenak Brentt terdiam.

Entah mengapa mimpinya tadi seolah mirip dengan penggalan ingatannya yang lain.

Mulai dari ruangan dingin yang dipenuhi cahaya menyilaukan mata, kemudian orang-orang berpakaian putih yang menatap panik kepadanya, hingga suara peralatan rumah sakit yang nyaring.

Semuanya terasa familiar baginya.

Brentt menundukkan kepalanya sejenak sebelum menatap kembali pantulan wajahnya di cermin.

Ia tidak mengerti mengapa mimpi menakutkan itu datang kepadanya setelah sekian lama? Bukankah selama ini ia tidak pernah mengalaminya sedikitpun? Lalu mengapa mimpi-mimpi buruk itu muncul secara bersamaan sekarang?

Brentt perlahan mengeratkan genggamannya pada bak wastafel penginapan di hadapannya. Ia halau rasa takut yang masih bersarang didadanya dengan memejamkan matanya sejenak.

Entah mengapa sebagian dirinya meyakini bahwa apa yang dilihatnya tadi bukanlah sekedar mimpi semata, melainkan situasi nyata yang pernah dialaminya dahulu. Tapi jika memang demikian adanya, mengapa ia tidak memiliki satupun ingatan tentangnya?

Sambil menarik nafas panjang, Brentt kembali menatap wajahnya dengan tatapan risau.

Tidak ada cara lain baginya untuk memastikan kebenaran mimpi tersebut kecuali membuktikannya sendiri.

Ia tidak akan membiarkan mimpi buruk itu berulang seperti mimpi-mimpinya yang lain.

Dengan tangan gemetar, Brentt akhirnya memberanikan dirinya meraba setiap jengkal permukaan kulit kepalanya. Setidaknya ia akan merasa lega jika apa yang dirisaukannya ternyata hanyalah kekhawatiran yang berlebihan.

Namun harapan itu seketika pupus saat ujung jarinya menemukan bekas luka tipis memanjang di bagian atas kepalanya.

Brentt tercekat.

Ia mencoba meraba kembali bekas luka itu berulang kali untuk memastikannya. Namun lagi-lagi bekas luka melingkar itu semakin jelas teraba olehnya.

Tanpa sadar Brentt menghempaskan punggungnya ke dinding dibelakangnya. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Ia sulit mempercayai apa yang baru saja ditemukannya tadi.

Banyak pertanyaan kemudian muncul silih berganti di benaknya.

Apa yang sebetulnya terjadi padanya? Mengapa ia sama sekali tidak memiliki ingatan utuh mengenai hal tersebut?

Bekas luka melingkar itu jelas-jelas ada di kepalanya. Tapi anehnya, ia sama sekali tidak mampu menggali ingatan apapun tentangnya.

Untuk beberapa saat lamanya, Brentt terus menatap dirinya dengan tatapan tidak percaya. Dadanya kini mulai terasa sesak.

Seharusnya ingatan tentang hal tersebut melekat erat dikepalanya seperti ingatan lainnya. Tapi entah kenapa ia tidak memiliki sedikitpun jejak mengenai hal tersebut.

Ia bahkan mencoba merunut kembali satu persatu ingatannya yang tersembunyi. Namun lagi-lagi ia gagal untuk mengingatnya.

Setelah waktu yang lama, Brentt akhirnya menyerah.

Lost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang