Aku memperhatikan pria di balik counter itu, dalam pikiranku, pria ini tidak cocok jadi bagian dari toko coklat ini. Bagaimana yah? Matanya tajam, ditambah lagi dengan garis wajahnya yang tampak tegas, dia terlihat tak bersahabat menurutku.
Ah, ayolah, Shia! Kamu nggak boleh berpikiran jelek begitu! Hargai pekerjaan orang lain!
"Selamat datang," ulangnya lagi. "Mau coklat apa?"
"Oh saya..." aku langsung menghampiri etalase berisi banyak coklat tersebut. "...hmm..."
"Anda bisa mengawali hari ini dengan dark chocolate," katanya lalu menunjuk truffle yang ada di etalase.
"Kalau yang ini apa?" tanyaku menunjuk potongan kue coklat yang ada di samping truffle tersebut.
"Itu hazelnut chocolate cake bar. Saya hanya menyarankan anda untuk makan kue itu dua dalam sehari."
"Kenapa?"
"Nanti bisa sakit gigi."
"Pufft," aku menahan tawaku tepat saat pria dihadapanku mengatakan hal itu. Masalahnya dia berbicara dengan wajah datar. Astaga, pria ini bisa melawak dengan wajah seperti itu yah?
"Saya mau trufflenya satu kotak."
"Satu kotaknya mau sembilan atau dua belas?"
"Dua belas boleh. Oh, hazelnut chocolate cake barnya juga, lima yah."
"Nanti sakit gigi?" katanya memandangku.
"Ini buat temen-temen saya kok."
Setelah itu pria itu segera membuat pesananku, dia bekerja dalam diam dan hanya fokus menata coklat-coklat itu dalam kotak. Kerjanya cepat dan rapih.
"Ini totalnya," katanya memberikan struk padaku.
"Di toko ini, dikasih struk dulu yah baru bayar?" tanyaku sambil merogoh tasku, mencari dompetku.
"Iya, baru nanti coklatnya dikasih setelah bayar."
Aku tersenyum sambil memberikan beberapa lembar uang pada pria itu. "Kalau dikasih coklatnya dulu baru bayar nanti malah saya bawa kabur coklatnya, nggak saya bayar deh."
"Kantor polisi deket kok darisini. Kalau mau kabur bawa coklatnya gapapa."
Pria ini kenapa sih? Apa melawak dengan ekspresi datar sedang tren sekarang ini?
"Anda melawak yah?" tanyaku.
"Kelihatannya begitu yah? Uangnya pas yah, terima kasih sudah membeli, datang lagi lain waktu."
Aku pun segera keluar dari toko coklat tersebut setelah menerima coklatku dan segera menuju ke perpustakaan. Disana, aku sudah diserbu oleh Jihyo dan teman-teman lainnya, apalagi setelah Jihyo mengumumkan bahwa aku membeli coklat di toko bernama Han's Chocolate. Aku bahkan baru sadar bahwa toko coklat itu punya nama.
"Ya ampun enak banget!! Chocolatier Han emang the best deh!" pekik Jihyo setiap kali mengigit hazelnut chocolate cake barnya. "Pokoknya sekali makan coklatnya Chocolatier Han pasti langsung jatuh cinta."
"Chocolatier Han?"
"Kamu tuh gaptek atau ketinggalan berita sih? Toko coklat yang tadi kamu kunjungin itu tuh punyanya Chocolatier Han, chocolatier yang udah sukses sejak usianya masih 19 tahun. Penghargaan apa aja udah dia dapet. Pertama kali rintis karir di Swiss, tapi setelah nikah pindah ke Korea terus mulai buka bisnis bareng istrinya. Terus istrinya juga cantik banget. Ya ampun beruntung banget yang jadi istrinya."
"Kamu tuh emang pantes disebut tukang gosip, sampe tau detail begitu," cibirku sambil mengambil truffle yang tadi kubeli dan memakannya. "Hm?"
"Kenapa?" tanya Jihyo.
"Aku nggak tau kalo ada orang yang bisa kombinasiin rasa kaya gini."
"Emang kamu beli apa?"
"Truffle dark chocolate, tapi ternyata isinya red velvet. Rasa pahit sama manisnya nyampur. Enak."
Kurasa Jihyo benar soal satu hal. Siapapun yang makan coklat buatan Chocolatier Han itu pasti akan jatuh cinta. Dan sekarang aku merasakannya.
🍫
"Adik? Kamu ketiduran lagi?" tanyaku pada anak laki-laki yang kemarin aku temui dan tau tidak? Dia tertidur lagi di tempat yang sama dimana aku menemukannya kemarin. Untung saja, perpustakaan belum saatnya tutup, masih ada satu jam lagi sebelum tutup.
"Eh, noona, hehehehe."
"Kamu belajar apa sih emangnya disini? Kenapa ketiduran terus?"
"Matematika, Noona. Tapi mau aku otak-atik gimanapun caranya, tetep aja nggak ketemu jawabannya. Padahal udah janji sama ayah, kalo nilai ulangan minggu ini bagus, aku boleh minta handphone."
Aku terkekeh, jadi ingat diriku dulu. Aku juga sering merengek pada bunda agar membiarkanku bermain dengan teman-temanku dengan embel-embel nilaiku akan bagus di ulangan. Walau kadang hal itu tidak terealisasikan sih.
"Emang matematika kaya apa sih?" tanyaku.
Anak laki-laki itu memberikan bukunya, setelah kuperhatikan ternyata soalnya tidak sesulit saat masaku dulu. Ya ampun, anak-anak zaman sekarang serba enak yah.
"Kamu kelas berapa, Dik?"
"Namaku Han Dongpyo, kelas satu SMA."
Anak itu memperkenalkan dirinya, walau aku hanya menanyai kelasnya. Tapi yang buat aku melongo adalah ucapannya setelah menyebutkan namanya. Kelas satu SMA katanya? Anak seimut ini? Apa karena perkembangan zaman, makanya anak-anak sekarang tidak terlihat tua sama sekali?
"Noona?"
"Hm?"
"Noona, bisa nggak?"
"Ayo sini duduk dulu," kataku mengajaknya duduk di kursi yang tersedia.
Aku mengajarinya bagaimana caranya menggunakan cara cepat dalam beberapa soal khusus, ternyata Dongpyo ini anaknya cepat sekali paham. Tapi cepat sekali untuk lupa. Berkali-kali dia menanyaiku soal dengan cara yang sama.
Semakin lama kuajari, Dongpyo malah semakin cepat mengerjakannya, untuk beberapa saat dia mengingat apa yang aku ajari, tapi tidak tau kalau besok. Lihat saja.
"Dongpyo, pulang yuk. Udah malam, noona antar."
"Nggak usah, Noona, aku naik bis aja."
"Nggak boleh, bahaya, nanti kamu diculik gimana?" tanyaku. Soalnya kamu imut banget. Lanjutku dalam hati.
Dongyo memanyunkan bibirnya. "Noona sama aja kaya ayah, emangnya aku anak kecil? Aku kan udah gede!"
"Iya, iya, tapi hari ini noona anterin aja yah. Udah malem juga, kan rumahmu sejalan sama apartemennya noona."
"Ya udah deh," katanya pasrah lalu membereskan buku-bukunya.
Sepanjang perjalanan, Dongpyo tidak henti-hentinya menyanyikan lagu apa saja yang terputar di radio, terkadang ketika dia tidak tahu lagunya atau tidak hapal liriknya dia akan bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Entah kenapa dia bercerita dengan menggebu-gebu, membuatku mau tak mau jadi ikut bersemangat mendengar ceritanya.
Sampai di ruko kemarin, aku menghentikan mobilku. Dongpyo mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya dan mengatakan padaku bahwa dia akan datang lagi ke perpustakaan besok untuk memintaku mengajarinya, katanya ulangannya lusa.
Sesaat sebelum kaca mobilku benar-benar tertutup, aku melihat Dongpyo bicara dengan seorang pria yang entah siapa, karena wajahnya tidak kelihatan. Walau begitu, aku tampak mengenalnya.
-tbc-

KAMU SEDANG MEMBACA
Daddyable | Han Seungwoo
Fanfiction"Aku benci coklat, tapi aku nggak benci rasanya."