2.7

5.4K 906 39
                                    

Aku menggeliat, tapi anehnya tubuhku terasa berat. Aku kembali menggeliat, tapi tubuhku masih terasa berat. Aku membuka mataku dan mendapati wajah Seungwoo di depan wajahku. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk sadar sepenuhnya sebelum akhirnya mendorong Seungwoo menjauh dariku sampai-sampai dia jatuh dari sofa.

"Shia, kenapa sih?" dengus Seungwoo.

"Kamu tuh yang kenapa! Perasaan semalem kamu tidur di sofa seberang, kok malah ada disini sih?!"

"Semalem dingin. Selimutnya cuma satu, jadi aku ke kamu."

"Izin dong! Bangunin aku gitu!"

Semalam setelah bertengkar dengan Dongpyo, Seungwoo memutuskan untuk menginap. Katanya takut Dongpyo merepotkanku.

Awalnya kami memang tidur di sofa yang terpisah, sayangnya selimutnya hanya ada satu. Seungwoo dengan percaya dirinya bilang bahwa dia tidak butuh dan malah memberikannya padaku, tapi nyatanya dia malah kedinginan dan berakhir tidur sambil memelukku. Yang benar saja!

"Kamu kalo tidur kaya orang mati, dipanggil nggak denger-denger," ujar Seungwoo bangun dan mengusap-usap bokongnya. "Aku buatin sarapan."

"Aku aja."

"Nggak, aku aja."

"Ya udah, aku bantuin!"

🍫

Memang sih aku bilang aku akan membantunya, tapi sepertinya terjadi pertukaran peran. Ya, alih-alih Seungwoo, justru malah aku yang membuat sarapan. Sementara Seungwoo sibuk memelukku dari belakang.

"Kamu katanya mau buat sarapan, ini kenapa malah jadi aku?" ujarku.

"Enak meluk kamu."

"Apaan sih kamu? Udah tua juga masih aja gombal!" Seungwoo hanya terkekeh.

"Noona, lapar...." Dongpyo muncul dengan wajah bangun tidurnya. Dia terkejut ketika melihat Seungwoo, buru-buru saja Dongpyo berbalik arah tapi Seungwoo keburu cepat mencekal pergelangan tangannya.

"Mau kemana kamu?" tanya Seungwoo galak.

"Mau tidur lagi. Lepasin aku!" katanya berusaha melepaskan cekalan tangan Seungwoo, tapi tentu saja itu percuma karena tenaga Seungwoo lebih besar darinya.

"Ayah udah sering bilang kalau udah bangun, nggak boleh tidur lagi."

"Nggak mau. Ayah galak, ayah serem. Aku takut!"

"Dongpyo," panggilku, Seungwoo dan Dongpyo menatapku, Dongpyo memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan cekalan Seungwoo dan berlari kearahku, bersembunyi ke belakangku.

"Selamat pagi," sapaku.

"Selamat pagi, Noona."

"Tidurnya nyenyak?"

"Nggak."

Aku terkekeh. "Sarapan yuk."

Dongpyo mengangguk lalu duduk di kursi bar meja pantry. Aku menuntun Seungwoo yang masih diam menatap Dongpyo untuk membantuku menyiapkan sarapan. Kenapa sih pagi-pagi harus dimulai dengan keributan?

Hari ini aku lagi-lagi terpaksa harus bolos kerja karena suasana hectic yang terjadi di apartemenku. Meninggalkan ayah dan anak ini sendirian sangat mengkhawatirkanku, jadi lebih baik aku memantau mereka.

Lagipula mereka sepertinya butuh penengah. Lihat saja sekarang, bahkan saat memakan sarapan pun, keduanya masih diam membisu. Membuatku jadi nggak nyaman karena melihat kecanggungan diantara mereka.

"Pyo, tadi malam tidurnya kenapa nggak nyenyak?" tanyaku basa-basi.

"Mimpi buruk."

"Mimpi apa?"

"Ditinggalin sama noona, terus diomelin ayah."

Aku tersenyum lalu mengelus-elus rambut Dongpyo. "Cuma mimpi kok. Noona nggak akan ninggalin kamu, ayahmu juga nggak bakal ngomelin kamu kok."

"Kamu penasaran soal bunda?" tanya Seungwoo tiba-tiba.

"Ayah—"

"Ayah masih marah sama kamu," jawab Seungwoo. "Kamu nakal dan nggak nurut ayah."

"Tapi kan aku cuma penasaran sama bunda! Terus Aunty Wen nawarin album foto bunda—"

"Ayah nggak mau kamu ketemu Wendy karena ayah nggak mau nanti kamu kena hasutan Wendy atau segala macamnya, biar kamu benci sama Shia."

Aku melotot. "Seungwoo!"

"Aku nggak bakalan benci noona! Aku sayang noona! Aku mau noona jadi bunda aku, tapi aku juga penasaran wajahnya bunda Seola. Ayah nggak ngerti!"

Seungwoo menghela nafasnya, ketara sekali kalau dia sangat lelah dengan masalah sekarang ini.

"Hari ini kita ke funeral," ujar Seungwoo. "Penasaran kan?"

"Boleh?" tanya Dongpyo.

Seungwoo menghela nafas lagi. "Ayah ngaku kalo ayah salah karena nggak izinin kamu kenal bundamu, ayah tau kamu penasaran," ujar Seungwoo dengan nada yang sangat merasa bersalah.

"Tapi ayah juga mau kamu tau, ayah begini karena ayah nggak mau kamu merasa bersalah sama bundamu."

"Maksudnya ayah?" tanya Dongyo.

"Sejauh mana Wendy kasih tau kamu soal bunda?"

"Cuma .... waktu kalian ada di sekolah yang sama...."

Seungwoo menghela nafas lagi. "Kamu tau kalo bunda meninggal karena lahirin kamu?"

Dongpyo melebarkan matanya. Darisana aku bisa menebak bahwa jawaban Dongpyo adalah tidak tahu. Kini aku mengerti kenapa Seungwoo mati-matian menjauhkan Dongpyo dari segala hal tentang Seola, karena kepergian Seola justru adalah hari dimana Dongpyo disambut pertama kali di dunia.

"Ayah cuma mau melindungi perasaan kamu. Ayah nggak mau rayain ulang tahun karena ayah nggak mau kamu keinget bundamu, ayah nggak mau kamu liat foto bundamu atau apapun yang berhubungan sama bundamu karena ayah nggak mau kamu tanya-tanya dan akhirnya bersalah," ujar Seungwoo dan kemudian menatap Dongpyo lekat. "Kamu sekarang paham kenapa ayah bersikap begitu?"

Dongpyo merenggut dan menunduk. "Maaf, ayah..."

"Hari ini mau ke funeral?" tanya Seungwoo tersenyum. "Tapi nggak boleh merasa bersalah sama bunda yah."

Dongpyo mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil mengangguk. "Siap kapten!"

"Nah, makan sarapannya," ujar Seungwoo kemudian menatapku. "Kamu ikut yah."

"Buat apa?"

"Buat kenalin ke Seola."

"Ngenalin buat apa?"

"Biar Seola tau, kalo sekarang aku sama Dongpyo udah ada yang urusin."

-tbc-

Daddyable | Han SeungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang