0.6

5.7K 920 24
                                    

Seungwoo Pov

"Pyo, kenapa sih buru-buru banget?" tanyaku ketika Dongpyo menarik tanganku tak sabaran keluar dari perpustakaan menuju parkiran.

Setelah membeli handphone untuknya, dengan catatan bahwa dia harus rajin belajar dan jadi anak baik, Dongpyo tiba-tiba saja minta ke perpustakaan. Ingin bertemu Shia katanya.

"Soalnya noona lagi sama nenek!"

"Gimana?" tanyaku sambil menekan kunci mobil dan masuk ke kursi pengemudi, sementara Dongpyo di kursi samping pengemudi.

"Noona lagi di rumah bundanya. Bunda noona berarti harus aku panggil nenek kan?"

"Belajar darimana kamu hm? Jangan asal nyebut sembarangan, nanti salah paham."

"Ih gimana bisa gitu sih?" tanyanya sebal sambil memakai seatbeltnya. "Ayo, Yah, kita ke noona! Jalan Produce X nomor 101!"

Aku menghela nafas sebelum akhirnya menginjak pedal gas. Harus kuakui bahwa wanita itu, Shia, punya kemampuan yang luar biasa untuk mengakrabkan diri dengan Dongpyo. Pasalnya, putra tunggalku ini sulit sekali akrab dengan orang baru, apalagi wanita dewasa seperti Shia. Takut posisi bundanya digantikan katanya.

"Pokoknya ayah nggak boleh punya pacar selain bunda!" begitu deklarasi Dongpyo saat berusia tujuh tahun. Tapi kenapa dengan Shia dia mudah sekali akrab? Sungguh teka-teki.

🍫

Aku terus mengusap tengkukku karena merasa tak enak dengan Shia dan bundanya karena direpotkan oleh Dongpyo.

Sampai di toko bunga milik bunda Shia, Dongpyo langsung heboh sendiri dan dengan lantangnya memanggil bunda Shia dengan sebutan "nenek". Tak sampai disana, putraku itu juga menjadi sangat cerewet, bercerita banyak hal dengan bunda Shia tanpa memberi jeda sedikit pun.

"Duh, Pyo, pipinya kena tanah kan jadinya? Udah nenek bilang jangan bantuin," ujar bunda Shia membersihkan tanah yang menempel di pipi Dongpyo karena ia menggunakan tangan yang sama yang ia gunakan untuk membantu bunda Shia menanam bibit bunga, untuk menggaruk pipinya.

"Hehehehe. Nenek, Pyo lapar."

"Mau makan kue?"

"Mau!!"

"A-Anu ... bibi, tidak perlu memanjakan Dongpyo seperti itu," ujarku saking tidak enaknya. "Pyo, jangan begitu."

Dongpyo cemberut. Bersiap untuk marah-marah. Tapi bunda Shia sudah lebih dulu membujuknya untuk masuk ke dalam, menyiapkan kue buatannya dan teh.

Aku menghela nafas. Bingung darimana sifat Dongpyo yang keras kepala begitu? Apa mungkin dariku? Tapi aku tidak sekeras kepala itu saat remaja. Aku masih patuh walau tetap saja memasang wajah sebal.

"Dongpyo udah SMA tapi kaya anak TK yah," ujar Shia menghampiriku sambil melepaskan sarung tangannya.

"Iya, dia memang begitu. Mungkin karena aku terlalu memanjakannya, makanya—Maaf," kataku mengusap pipi Shia dengan jempolku ketika ada noda tanah dipipinya. "Ada tanah."

"O-Oh, mak—"

"EONNIE BAWA PACARRR?!!!"

Aku dan Shia sama-sama terkejut ketika mendengar suara melengking dari seorang gadis yang penampilannya sudah tak jelas, rambutnya dicepol asal-asalan, memeluk buku-buku tebal yang entah apa, dan wajahnya sudah tak karuan lelahnya.

"EONNIE BAWA PACAR?!!!"

"Heejin, suaranya!" omel Shia. "Maaf yah, adikku memang begitu."

"Oh adik..." kataku. "Gapapa kok."

"Ayahhh, ayo masuk! Nenek udah siapin kue," ujar Dongpyo muncul.

"Ayah? Nenek?" tanya Heejin.

"Annyeong haseyo. Namaku Han Dongpyo."

Oh tidak, sepertinya akan ada kesalahpahaman la—

"EONNIE, INI ANAK SIAPA?!! EONNIE NIKAH SEMBUNYI-SEMBUNYI YAH???"

Kacau.

🍫

Aku hanya menyeruput teh chamomile buatan bunda Shia sesekali melirik Heejin yang terus menatapku dan Shia penuh curiga. Sementara Dongpyo sepertinya tidak tahu mengenai situasi tegang ini.

Tapi aku merasa bersyukur karena sepertinya keluarga Shia tidak tahu siapa aku (sebelum aku memperkenalkan diri sebagai Chocolatier Han Seungwoo). Bukan berarti aku sudah tak populer atau sesuatunya, tapi kadang jadi populer itu merepotkan. Sungguh.

"Nenek, kuenya enak! Coklatnya kerasa! Kaya coklat ayah!"

Ingin rasanya aku menegurnya untuk berhenti memanggil Bunda Shia dengan sebutan "nenek", tapi anak itu pasti akan merenggut dan marah-marah.

"Toko coklatnya memang dimana, Seungwoo?"

"Dekat sama apartemennya noona!" jawab Dongpyo.

"Pyo," kataku gemas sendiri dengan mulut Dongpyo yang tak ada hentinya berbicara seperti itu. "Sudah berhenti bicara. Makan."

"Chocolatier Han gimana bisa kenal eonnie?" tanya Heejin.

Shia yang kebetulan duduk disampingku langsung menghela nafas, kurasa dia merasakan apa yang kurasakan pada Dongpyo sebelumnya.

"Nggak sengaja ketemu. Udah cukup jangan tanya apa-apa lagi," ujar Shia langsung memotong ketika Heejin hendak membuka mulut lagi, menanyakan pertanyaan lagi.

"Kalian makan disini dulu yah?" tawar bunda Shia dan langsung disetujui oleh Dongpyo, bahkan tanpa bertanya padaku boleh atau tidak.

Heejin lantas mengobrol santai dengan Dongyo—tepatnya Dongyo yang mengajak gadis itu mengobrol, sementara Shia dan bundanya berada di dapur untuk memasak makan siang. Aku hendak membantu, tapi bunda Shia melarangku, katanya tamu harus dilayani, membuatku makin tak enak tapi akan lebih tak enak lagi kalau memaksa membantu.

"Anu..." Heejin bersuara dan menatapku yang duduk di sofa, dia dan Dongpyo tengah duduk di lantai sambil bermain UNO.

"Ya?"

"Saya harus panggil apa yah? Kayanya Chocolatier Han agak ribet."

"Hm..." aku juga tidak tahu harus membuat panggilan apa.

"Oppa!" jawab Dongpyo. "Ayah masih kaya oppa-oppa mukanya."

"Oke, Seungwoo oppa."

Aku hanya tersenyum maklum. Hangat sekali suasana rumah Shia ini.

-tbc-

Daddyable | Han SeungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang