"Jaga rumah yah, Pyo," pesan Seungwoo sebelum akhirnya keluar dari toko tersebut diekori olehku.
Untuk beberapa saat posisi kami masih seperti tadi, Seungwoo di depan dan aku di belakang, lalu tiba-tiba Seungwoo mundur beberapa langkah hingga dia berjalan sejajar denganku.
"Seungwoo-sshi?"
"Jangan jalan di belakang. Kamu kan bukan pembantu atau semacamnya."
"Ah...." aku mengangguk-angguk.
"Usiamu berapa?" tanya Seungwoo tiba-tiba, padahal aku sudah berpikir bahwa kami akan saling diam sampai tiba di depan apartemenku.
"Aku 30 tahun. Kamu?"
"36. Tapi nggak usah formal ngomongnya."
"Hm? Kenapa?"
Seungwoo berhenti, membuatku ikut berhenti juga. Dia lalu menghadap kearahku dan secara tiba-tiba menyodorkan tangannya. "Kita berteman sekarang."
"Hah?"
"Kalau teman nggak perlu formal kan?" tanyanya. "Sejujurnya ... aku udah terlalu lama tinggal di Swiss, jadi kurang biasa dengan bicara formal. Aku lebih suka bicara santai."
Aku mengangguk lalu menjabat tangannya. "Jadi ... Seungwoo?"
"Ya," ujarnya menatapku. "Lebih enak kaya gitu."
Aku mengangguk-angguk lalu melepaskan jabatan tangan kami.
"Namamu siapa?"
"Shia. Jeon Shia."
"Maaf," katanya lalu menarik tanganku dan memasukkannya ke saku jaketnya. "Tanganmu merah, jadi kupinjamkan sakuku."
Aku canggung dengan perlakuan Seungwoo, tapi tidak bisa apa-apa dan hanya mengiyakannya. Apa semua pria di Swiss selalu begini? Tapi—Tunggu.
"Shia?" katanya kaget ketika aku menarik tanganku dan menggeleng padanya. "Kenapa?"
"Kamu udah punya istri kan? Maksudku ... istrimu nggak marah kalo tau?"
"Bukan istriku, tapi Dongpyo yang marah kalau sampai guru kesayangannya kedinginan," katanya menarik kembali tanganku ke dalam sakunya dan memaksaku mengikuti langkahnya yang besar menuju apartemenku.
Kami tidak banyak bicara di perjalanan, terlebih lagi Seungwoo juga berjalan cukup cepat sehingga aku harus berlari kecil mengikutinya.
"Terima kasih," kataku setelah sampai di apartemenku dan melepaskan tanganku dari genggaman Seungwoo.
"Oh iya, ini," katanya menyerahkan sebuah paper bag padaku, memang sih sejak tadi Seungwoo sudah membawa paper bag tersebut tapi aku tidak tahu kalau ternyata itu untukku.
"Untuk apa?"
"Ambil aja," katanya memaksaku mengambilnya. "Selamat malam."
Selepas kepergian Seungwoo, aku membuka paper bag tersebut sambil berjalan masuk ke dalam apartemen. Aku mengambil kotak yang ada di dalam sana dan membukanya. Aku kaget melihat banyak coklat di dalamnya, lalu ada secarik kertas di dalam paper bag tersebut.
Sesuai saranmu. Rasanya enak.
"Hah?" gumamku.
"Nona, anda ingin naik atau tidak?" tanya seorang pria paruh baya yang tengah menekan bel pintu apartemen.
"Ah iya, iya!" kataku lalu segera masuk ke dalam lift.
Penasaran maksud Seungwoo, aku mencoba coklat pemberiannya ini. Aku terkejut ketika rasa asam berry bercampur manisnya coklat tercicip oleh lidahku. Inikah maksud Seungwoo? Dia memakai saranku kemarin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddyable | Han Seungwoo
Fiksi Penggemar"Aku benci coklat, tapi aku nggak benci rasanya."