Seungwoo Pov
Namanya Jeon Shia, seorang perpustakawan yang entah bagaimana bisa dekat dengan Dongpyo. Sering kali aku menangkap Dongpyo sedang cekikikan sambil bermain handphonenya, aku tau bahwa itu Shia. Berkatnya, Dongpyo jadi rajin belajar dan mudah sekali menurut tiap kali aku mengancamnya kalau aku akan mengambil handphonenya jika dia tidak menurutiku.
Semuanya serba Shia.
Tapi kenapa harus dia?
Kenapa harus wanita itu yang melihat bagaimana menyedihkannya aku dan betapa lemahnya aku saat mengunjungi Seola? Kenapa harus wanita itu yang tau luka terdalamku?
Dan kenapa harus wanita itu yang masuk ke kehidupan yang telah kututup rapat agar tak seorang pun dapat masuk tanpa izinku? Kenapa dia bisa masuk seenaknya tanpa permisi?
"Kamu harus jaga kesehatan," katanya sambil menempelkan telapak tangannya di keningku yang sudah terbaring lemah di tempat tidurku.
"Dingin..." kataku memejamkan mataku ketika mendapati sensasi dingin dikeningku.
"Karena tubuhmu panas," katanya. "Harusnya kamu jangan memforsir dirimu sendiri. Kalo kamu sakit, siapa yang mau rawat Dongpyo?"
Aku membuka mataku dan menatapnya lama dengan tatapan yang sayu. "Nggak perlu repot-repot untuk peduli padaku," kataku lirih. "Kita mungkin berteman, tapi kita nggak sedekat itu sampai kamu harus mengoceh padaku."
Shia mendelik kesal karena ucapanku. "Kalau begitu urus dirimu sendiri dan buat anakmu tidak menghubungiku dengan panik, Han Seungwoo."
Aku meliriknya sambil batuk-batuk. "Aku tidak pernah membuat Dongpyo dekat denganmu, Jeon Shia."
Shia tampak menghela nafas kemudian menjauhkan tangannya dari keningku, ia berdiri dari posisinya yang semula berjongkok disamping tempat tidurku.
"Mungkin otakmu sedikit bermasalah karena sakit, jadi cepat tidur dan jangan berisik," katanya lalu menyelimutiku sampai menutupi wajahku.
Tepat setelahnya kudengar langkah kaki, kurasa itu Dongpyo. "Kok ayah begitu tidurnya?"
Kan benar. Itu dia.
"Suruh ayahmu minum obat dan istirahat, jangan lupa kompres juga ayahmu. Ah, potnya noona taruh dibawah yah, noona mau pulang."
"Kok pulanggg?" rajuk Dongpyo. "Kan janji mau tanam bibit matahari bareng."
"Karena noona banyak pekerjaan," setelahnya aku hanya mendengar langkah kaki yang perlahan menjauh, alu menyibak selimut dari wajahku dan menatap Dongpyo yang sudah memasang wajah merajuk sambil mendekatiku.
"Nih ayah minum obat."
Aku menurut, lalu memeras dan mengompres handuk kecil itu sendiri, meletakkan handuk kecil itu ke keningku dan kembali tidur.
"Ayah."
"Pyo, ayah pusing."
"Emang ayah tau aku mau ngomong apa?"
"Shia kan?" tanyaku.
"Kok noona langsung pulang?" aku tidak menjawab pertanyaan Dongpyo dan menutup mataku.
Sialnya aku malah terbayang wajah kesal Shia tadi karena perkataanku yang kuyakini menyakiti perasaannya, padahal dia hanya mencoba peduli. Padahal dia adalah satu-satunya orang yang tidak merasa iba padaku dan mengatakan bahwa bersedih sesekali tidak apa-apa.
Dia tidak mencoba mendekati Dongpyo untuk mendekatiku juga. Hatinya tulus.
Dan aku berhasil menyakitinya dengan ucapan tak beralasanku.
🍫
"Pyo, astaga! Kamu tuh ngapain?!" omelku saat keluar dari kamarku dan melihat Dongpyo bermain tanah di ruang tamu.
"Lagi tanam bibit matahari."
"Tapi nggak disini, Pyo! Di balkon."
"Panas, Ayah! Aku nggak mau kena matahari."
Aku menghela nafas lalu membantu anak ini menanam bibit matahari miliknya, Dongpyo kemudian menyiramnya dan meletakkan pot itu di balkon, sementara aku menyapu sisa tanah.
Aku lalu mulai memasak makan siang untuk aku dan Dongpyo, anehnya anak ini tampak tidak napsu makan dan hanya mengaduk-aduk makanannya.
"Ayah, besok jangan lupa."
"Iya, ke pentas seni kan?"
"Sama noona yah?"
"Hah?" aku reflek menghentikan kegiatan makanku. "Gimana?"
"Noona bilang oke waktu aku ajakin. Ya, Ayah? Sama noona?"
"Pyo, coba jujur sama ayah," ujarku meletakkan sumpitku dan menatap Dongpyo yang juga menatapku. "Kenapa kamu sedekat itu sama Shia? Kamu nggak pernah suka sama orang asing sebelumnya. Coba kasih tau ayah apa yang buat kamu sedeket itu sama Shia."
Dongpyo tampak berpikir sebentar sambil sesekali menyuap makanannya. "Noona cantik. Senyumnya cantik, matanya cantik, hidungnya cantik. Semuanya cantik."
"Cuma cantik?"
"Noona juga baik terus noona sering perhatiin aku, seneng deh kalo noona udah manjain aku! Aku kaya punya bunda."
Aku diam mendengar penuturan Dongpyo yang tidak biasanya memuji wanita seperti itu. Bahkan .... memanggilnya bunda? Unpredicted.
"Kenapa emangnya, Ayah?"
"Gapapa. Cuma penasaran," jawabku sebelum akhirnya menghabiskan makananku dengan cepat, lalu menyuruh Dongpyo mencuci piring sementara aku turun untuk kembali membuka toko.
Setelah memutar plang menjadi OPEN, aku kembali ke balik etalase, duduk diam disana selama menunggu pembeli datang sambil menulis surat atas ketidakhadiran Dongpyo di sekolah hari ini.
Baru saja aku memasukkan surat itu kedalam amplop, ekor mataku menangkap coklat mawar merah hasil ide Shia yang hanya tersisa beberapa buah.
Wajah kesal Shia kembali terbayang dalam kepalaku. Kupikir aku sudah kelewatan padanya, haruskah aku meminta maaf saja? Terpikirkan olehku untuk membawakannya coklat mawar hasil idenya itu, mengingat bahwa dia belum mencoba hasil idenya sendiri.
Cling
Bel toko berbunyi, seorang perempuan masuk dan mulai melihat-lihat coklat di dalam etalase.
"Coklat yang ini belum ada namanya," ujar wanita tersebut sambil menunjuk coklat mawar Shia.Semua coklat yang ada disini memang kuberi nama, ada di papan kecil yang ada disamping coklat tersebut. Tapi hanya coklat mawar Shia saja yang tidak kuberi nama, karena aku tidak tau mau memberinya nama apa. Kalau Seola dulu nama coklatnya Seolarose.
"Saya belum tentuin namanya," jawabku. "Ah, coklat yang itu sudah dipesan orang lain."
"Oh? Yah sayang banget, padahal saya mau yang ini."
"Maaf, silahkan pilih coklat yang lain."
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddyable | Han Seungwoo
Fanfic"Aku benci coklat, tapi aku nggak benci rasanya."