"Noonaaaa, ajarinnnnn!"
Aku kaget setengah mati ketika Dongpyo muncul tiba-tiba dengan wajah sumringahnya. Aku melihat jam tanganku, ini sudah waktu pulang sekolah.
"Tunggu yah, noona masih harus beresin buku," kataku.
Dongpyo langsung mengambil beberapa buku dipelukanku dan bertanya bagaimana dia harus membereskannya. Sepertinya Dongpyo benar-benar sudah tak sabar untuk belajar yah.
Selesai membereskan buku-buku, aku mencari tempat duduk yang sekiranya cukup kondusif untuk mengajar Dongpyo.
Selama pembelajaran, Dongpyo cukup banyak bertanya dan cepat tanggap, walau setelahnya dia akan lupa lagi bagaimana caranya. Biar tidak bosan, aku menyelinginya dengan mengobrol-obrol ringan.
"Noona punya adik?" tanya Dongpyo.
"Punya. Perempuan, sekarang udah kuliah."
"Oh iya? Kuliah seru nggak, Noona?"
"Seru aja sih kalo kamu enak jalaninnya. Gimana bisa kerjain soal yang itu?"
"Bisa. Coba noona cek," katanya lalu menyerahkan buku latihannya.
Aku mengecek buku latihan Dongpyo. Aku tersenyum ketika jawaban Dongpyo benar. "You're doing well."
Dongpyo tersenyum. "Noona, lapar hehehehe."
Aku mengacak-acak rambut Dongpyo gemas. "Kamu ini," ujarku. "Ayo kita makan. Noona traktir deh soalnya kamu pintar."
Kebetulan waktu itu adalah jam makan siang jadi aku bisa pergi keluar untuk mentraktir Dongpyo makan. Aku tidak tahu kalau Dongpyo punya napsu makan yang tinggi, dia memakan makanannya dengan lahap dengan alasan; aku harus makan banyak biar tinggi kaya ayah. Menggemaskan sekali.
"Eh iya, Noona," panggil Dongyo.
"Kenapa?"
"Aku mau traktir noona coklat."
"Coklat?"
"Iya, nanti saat pulang, noona boleh tidak antar aku pulang?"
"Boleh, rumah kita kan juga searah. Tapi kamu harus nungguin noona selesai kerja dulu gapapa?"
"Gapapa."
🍫
Sesuai janjiku, aku mengantar Dongpyo pulang ke rumahnya. Dia menyuruhku masuk ke dalam rumahnya atau entah bagaimana aku tak merasa ini seperti rumah, ini seperti toko. Anehnya aku tampak kenal dengan stuktur toko ini.
"Ayah, aku pulang," ujar Dongpyo memasuki toko lebih dalam.
Seorang pria keluar dari sebuah ruangan yang kurasa adalah dapur, soalnya ada bau harum yang menyeruak saat pria itu membuka pintu. Dia menatapku bingung, begitu juga dengan aku. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa pria itu adalah Han Seungwoo. Chocolatier yang terkenal itu.
"Maaf, tokonya udah tutup," ujar Seungwoo.
"Aku yang suruh masuk ayah," jawab Dongyo yang mendapatkan kerutan di dahi sang ayah. "Noona ini yang aku ceritain ngajarin aku dari kemarin-kemarin. Boleh yah, aku kasih coklat?"
"Pyo, kamu nggak boleh kebiasaan repotin orang kaya gitu."
"Bukan Dongpyo kok, saya yang mau ngajarin," ujarku takut-takut Dongpyo kena marah ayahnya, soalnya wajahnya tampak tak bersahabat sekarang ini—atau memang tak pernah bersahabat tepatnya.
Seungwoo tampak menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk dan masuk kembali ke dapur. Dongpyo menarikku masuk ke dalam dapur dan mulai memilihkan coklat-coklat rekomendasinya untuk kumakan, kurasa coklat-coklat ini untuk dijual besok soalnya jumlahnya cukup banyak. Sementara Seungwoo tampak sedang frustasi membuat coklat.
"Ini noona!" ujar Dongpyo menyerahkan kotak berukuran sedang kepadaku. "Jangan langsung dimakan semua yah, nanti sakit gigi."
Aku tersenyum. "Ucapanmu sama kaya ayahmu yah."
"Ayah ngomong gitu ke noona? Kalian pernah ketemu?"
"Baru banget kemarin noona kesini beli coklat," ujarku. "Makasih coklatnya yah, maaf sudah menganggumu malam-malam, Seungwoo-sshi."
Seungwoo mendongak. "Ah, ya, gapapa."
"Kayanya berrynya nggak perlu dihancurin kaya gitu," ujarku ketika melihatnya menghancurkan banyak berry ke dalam sebuah mangkuk besar dan harus menelan kekecewaan saat dirinya mencicipinya karena mendapatkan rasa yang kuyakini tak diinginkannya.
"Maaf?"
"Kenapa nggak coba buat coklat buah beku? Berrynya dicelup coklat lalu dibekuin? Kayanya enak."
Seungwoo menatapku cukup lama, membuatku jadi nggak nyaman dan segera buru-buru pamit darisana dengan sekotak coklat ditanganku.
🍫
Aku terbangun ketika alarmku berbunyi, buru-buru aku mandi dan segera berpakaian. Tidak lupa merias diri karena itu adalah poin utama dalam pekerjaanku.
Segera aku mengambil tasku dan kunci mobilku. Baru saja ingin memakai sepatu, aku teringat akan coklat pemberian Dongpyo di kulkas. Aku langsung kembali masuk dan mengambil kotak coklat itu, lalu segera memakai sepatuku dan pergi menuju tempat kerja.
Sejujurnya aku tidak suka sarapan, tapi entah kenapa coklat ini tidak bisa membuatku berhenti mengunyahnya. Bahkan saat sampai di perpustakaan, aku memakan coklat terakhir di dalam kotak tersebut.
"Selamat pagi," sapaku pada rekan-rekan kerjaku yang lain.
"Moodmu sedang bagus yah?" tanya Jihyo.
"Kenapa?" tanyaku memakai ID Cardku.
"Entahlah," jawab Jihyo mengangkat kedua bahunya. "Auramu berbeda pagi ini. Ah iya! Ini ada anak yang menitipkan ini padaku, katanya suruh serahkan padamu," lanjutnya memberiku secarik kertas.
Ketika kubuka kertas tersebut isinya adalah sebuah nomor telpon. Dibawah kertas itu tertuliskan sebuah nama. Han Dongpyo. Tidak lupa dengan pesan bahwa aku harus menelponnya ketika sudah mendapatkan kertas ini.
Aku tersenyum dan menatap Jihyo yang tengah memperhatikanku. "Kapan anak itu kesini?"
"Sekitar 30 menit yang lalu. Pokoknya pagi banget. Itu anak yang kamu ceritain yah? Yang kamu ajarin itu?"
"Iya," jawabku sekenanya karena sedang menyalin nomor telpon ini ke kontakku. "Yuk," ajakku pada Jihyo untuk mulai mengecek perpustakaan dan menelpon nomor Dongpyo.
"Halo? Dongyo?
Semangat yah ulangannya.""Maaf, ini siapa?"
Aku menghentikan langkahku dan mengerutkan keningku. Kenapa suaranya berat sekali? Apa Dongpyo sedang pubertas? Tapi sespesifik itukah perubahannya?
"Ini nomornya Dongpyo kan?"
"Saya Seungwoo. Ayahnya
Dongpyo. Ini nomor saya."-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddyable | Han Seungwoo
Fiksi Penggemar"Aku benci coklat, tapi aku nggak benci rasanya."