Bagian 31: Selalu

713 77 4
                                    


Sebuah pesan masuk di Handphone Daven

Athala:  Ven, sorry gue gak bisa ke sana.

Athala: Biasa bokap.

Athala: Lo baik baik aja ya?

Athala: Besok siang gue ke sana.


Daven membalas singkat. "Itsokey."

Daven mengintip ke arah ruang ICU dan melihat ayah dan ibunya masih berpelukan sambil menunggu hasil diagnosis dokter. Ia sadar, meskipun kakaknya selalu mendatangkan kekecewaan untuk kedua orang tuanya, ia tetap anak pertama mereka yang sangat mereka sayangi.

Ia sendiri hanya dapat termenung sambil menutup wajahnya di kursi rumah sakit.

"Tuhan, tolong selamatkan dia. Beri dia kesempatan lagi untuk mengubah hidupnya. Jangan ambil dia. Jangan ambil siapapun dari hidupku lagi..." ujar Daven dalam hati sambil berdoa tulus.

"Ven," suara tinggi itu terdengar. Daven berdiri dan Cantika langsung berlari dan memeluknya. "Abang gimana?"

"Sekarang lagi di ICU. Doain aja," ujarnya mencoba tegar. Daven menahan air matanya agar ia tak terlihat lemah. Di belakang Cantika, ia bisa melihat Ezra, Nessa, dan Rafella melangkah.

Ezra menepuk pundak Daven. "Dia bakal sembuh. Lo bisa ngelewatin ini." Daven mengangguk. "Makasih ya lo semua. Gue gak enak nih malem malem malah ke sini."

"Ven! Apaan sih pake gak enak. Ini tuh udah tugas kita sebagai sahabat. Kita janji kan? Kita bakal selalu bareng bareng, mau seneng mau susah," ucap Rafella.

Nessa hanya tersenyum simpul mencoba berbagi semangat postif pada Daven. "Keluar dulu yuk."

.

.

.

Mereka duduk di kantin 24 jam yang memiliki tempat merokok. Daven dan Ezra langsung menyalakan rokok mereka.

"Lo nginep?" tanya Nessa.

"Enggak. Mirel gak ada yang jagain. Gue balik kayaknya bentar lagi."

"Jadi ceritanya gimana?" tanya Ezra penasaran.

"Eh jakun onta, gue udah bilang gak usah nanya nanya. Itu personal!" Rafella menempeleng Ezra.

"Eh iya maaf sayang," ujar Ezra menekankan kata sayang. Kalau suasana tidak sedang dalam kondisi duka, pasti ia sudah menempeleng Ezra.

"Santai aja, Raf," ucap Daven menengahi. Ya, gue mau makan sekeluarga. Gue ngetok kamar dia, gak dibuka-buka, padahal motornya ada. Gue gedor aja dan... dia udah pingsan gitu. Overdosis."

"Kakak lo..."

"Iya dia make. Suntikan. Gue gak tau itu obat namanya apa," ujar Daven getir.

Suasana sejenak hening. Saat itu tiba tiba Rafella mencolek Ezra. "Zra, mau pup."

"Ya udah pup."

"Temenin kali. Masa gue sendiri."

Ezra akhirnya berdiri. "Iya, Raf. Bentar ya, Ven."

"Gue ke apotek sekalian deh, harus ambil obat nyokap." Nessa berdiri dan mengikuti Ezra dan Rafella

Mereka bertiga pergi dan saat itu waktu sudah menunjukan jam 12 malam. Kantin hampir kosong. Hanya tersisa Daven, Cantika dan satu orang penjaga kantin yang sudah setengah tertidur.

Cantika menggenggam tangan Daven. "Are you really okay?"

Biarpun Daven mencoba terlihat tegar, tetapi sentuhan Cantika rasanya membuat dirinya lebih terbuka dan terlepas dari beban bebannya.

(Bukan) Kisah KlasikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang