40. Bersatu ?

19K 481 26
                                    

Ana PoV

Kini aku menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak anakku. Bahkan 2 minggu ini mereka belum bisa menerima dan mengerti keadaan ini. Bahkan duka ku belum sembuh aku harus menghibur anak anakku. Memang berat rasanya namun Allah beri aku kekuatan dari senyum anak anakku.

Kadang aku merasa lelah dengan rutinitas yang seperti ini. Namun lagi lagi Allah menolongku memberiku jalan untuk mampu menghadapi ini.

"Assalammualaikum". Seseorang dari balik pintu.

"Waalaikumussalam masya Allah ustadzah ada apa kesini?".

"Maukah dek ana mengisi kajian mingguan di sekolah sekolah" .

"Masya Allah insya Allah bisa ustadzah, kok repot repot kesini kan bisa telfon".

"Ingin silahturahmi juga".

"Masya Allah terimakasih ustadzah sudah menjenguk saya".

"Iya dek Ana nanti jadwalnya saya kirim lewat Whatsapp ya".

"Ohh iya ustadzah.. tunggu sebentar biar diambilkan teh".

Sejak hari itu aku mulai mengisi kajian. Dengan ilmuku yang masih terbatas sebisa mungkin aku memberi manfaat bagi orang lain.

Jika ilmu yang mampu kuberikan maka akan kuberikan semua sebagai bentuk sedekahku. Allah begitu baik padaku bahkan menolongku disaat yang tepat. Setelah badai hebat mengguncangku kini ada cahaya indah yang menghampiriku.

Dan jujur saja dihatiku penuh kebimbangan antara aku masih mencintai mas Ferdi dan sedih kehilangannya. Namun aku sadar cintaku pada mas Rahman jauh lebih besar mengalahkan benciku.

Aku melihat wajah dinginnya yang dulu. Mungkin ia akan kembali menjadi es. Entah ada rasa tidak tega namun aku masih belum bisa menerimanya. Aku melihat wajah frustasi nya. Entah apakah kami mampu bersatu atau tidak.

Dan hari ini aku mengisi kajian di sekolah yang di sponsori oleh perusahaan mas Rahman. Aku takut bertemu dengannya. Aku takut aku tidak bisa membencinya.

"Ustadzah ana, sudah makan?". Tanya seorang panitia padaku.

"Belum dek".

"Ustadzah bisa keruangan disana banyak yang makan dulu sebelum persiapan ada ustadzah rohmah juga".

"Oh iya dek terimakasih".

Dan lagi lagi ketakutan ku terjadi aku bertemu mas Rahman di ruangan itu. Namun dia sama sekali tak peduli padaku. Bahkan ia seperti tak mengenalku. Entah mengapa aku merasa sakit sekali ketika mas Rahman tak peduli padaku.

"Loh sudah makan ?" Tanya ustadzah padaku.

"Belum ustadzah".

"Ayo makan dulu acara 30 menit lagi dimulai".

Aku hanya mengangguk dan menyelesaikan makanku. Sebenarnya aku masih memikirkan mas Rahman entah mengapa hatiku merasa sedih tak melihat senyum di bibirnya.

Aku pun mengisi acara tersebut hingga selesai dan segera pulang. Aku ingin sekali memanggilnya.

"Mas.. mas rahman". Panggilku di belakangnya.

"Ya?". Jawabnya begitu singkat sekali.

"Apa kamu tidak mau menemui anakmu?".

"Apakah kita punya anak?".

"Ya mas". Jawabku meneteskan air mata.

"Kenapa kamu baru mengatakan".

"Karena aku baru sadar bahwa aku tak bisa membencimu. Kamu juga masih punya hak sebagai ayahnya".

Mas Rahman pun mengantarkanku pulang dan ingin menemui Fatih.

Kami pun sampai di rumahku.

"An". Panggilnya ketika aku membuka pintu rumah.

"Kenapa?".

"Aku mau tanya kenapa kamu tidak pindah rumah?".

"Entahlah aku juga tidak tau".

"Apakah kamu masih mencintaiku".

"Entahlah aku juga tidak tau".

"Apakah kamu ingin aku pergi?".

"Tidak".

"Lalu?".

"Lalu apa?".

"Bisakah kamu jadi istriku lagi?".

"Aku belum tau jawabannya mas".

Setelah itu aku masuk ke dalam rumah dan menyiapkan minum untuk Mas Rahman. Lalu aku menelfon supirku untuk mengajak Fatih dan Ira pulang.

Tak lama mereka pun sampai.

"Assalammualaikum umii". Suara siapa lagi yang paling keras kalau bukan Ira.

"Waalaikumussalam warrahmatullah sayangku"

Mereka salim padaku dan Rahman.

"Loh om kok disini?". Tanya Ira polos.

"Memangnya tak boleh?".

"Boleh tapi om gak boleh lama lama".

"Kenapa?".

"Soalnya dek Ira mau main sama umi". Jawaban Ira membuat Rahman tertawa.

Aku dan Ira masuk ke kamar aku sengaja meninggalkan Fatih ia sudah besar meskipun baru 5 tahun namun ia sangat dewasa dan memahami ku. Aku tau dia pasti mampu menerima semua ini.

"Umii.. om Rahman mau pulang". Fatih memberitahuku.

"Iya gapapa".

"Umi gamau nemuin om Rahman mau bicara". Tanya anakku.

"Tidak sayang umi capek".

Akhirnya Rahman pun pulang sedangkan Fatih menatapku penuh pertanyaan.

***

Kini hari-hari ku sama seperti biasanya. Bahkan aku sudah merasa lebih baik. Fatih pun sudah tau semuanya. Namun ia belum mampu menerima Rahman. Ia sungguh dewasa mampu berada di posisi yang sulit ini.

Ting..
Handphone ku berbunyi...

0852××××××××
Aku mau berangkat nanti malam ke Mesir. Aku cuman mau pamitan kasih tau Fatih aku bakal tanggung jawab ngirimin kamu uang. Kamu harus kuat ya aku yakin kamu wanita hebat. Terimakasih tidak membenciku padahal aku merenggut banyak kebahagiaanmu. Aku selalu membuat mu sakit dan kecewa. Dan satu lagi aku selalu mencintaimu. Semoga kelak kamu akan kembali padaku.
~Rahman.

**** the end****

Akhirnya tamat juga hehe author kasih ekstra chap gak ya?.

Imam SurgakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang