15 | Calling or Not

1.3K 61 0
                                    

Yocelyn POV
Apa aku kemarin terlalu kasar pada Devin?

Aku melamun di tengah kegiatanku yang sedang belanja keperluan rumah, memikirkan tentang Devian kemarin. Sungguh, aku tidak bisa tidur dengan tenang dari tadi malam.

"Apa kemarin aku terlalu berlebihan?" tanyaku pada diriku sendiri yang tanpa sadar mengeluarkan suara.

"Apa yang kau katakan?" tanya Alliane yang ada di sampingku dari tadi.

​"Hah? Apa?" Aku justru balik bertanya dengan terkejut.

"Tadi kau berkata apa? Kau berlebihan pada siapa?" tanya Alliane.

"Ah, tidak. Bukan siapa-siapa," jawabku berbohong.

​"Alliane! Yocelyn!" Tiba-tiba saja seseorang berseru kencang dari arah belakangku dan Alliane. Kami pun berbalik menuju sumber suara dan mendapati Dylan dan Andrew yang tengah berjalan menghampiri kami.

"Kalian tidak kerja?" tanya Dylan.

​"Tidak. Malam ini ada pesta kecil di apartemen Yocelyn, hanya pesta pindahan biasa. Jadi kami sedang membeli keperluan-keperluan untuk nanti," timpal Alliane.

"Kalian boleh datang... kalau kalian mau," ujarku.

"Jadi, kami diundang?" tanya Andrew.

"Ya, tentu saja," timpalku sambil tersenyum lebar.

"Apa yang harus kami bawa untuk nanti malam?" tanya Dylan bersemangat.

"Mmm... yang pertama tentu saja bawa raga kalian. Dan juga... mungkin wine juga boleh," ucap Alliane.

"Untuk itu, tidak perlu khawatir. Aku masih punya beberapa botol di lemari," ujar Andrew.

"Great! Aku yakin kita bisa meramaikan pesta kecil nanti!" seru Alliane semangat, sementara aku hanya tersenyum geli sambil memutar kedua bola mataku jengah.

***

Aku melihat jam dindingku disela kegiatanku bersama Alliane yang tengah mempersiapkan untuk pesta kecil nanti. Jam dinding sudah menunjukka pukul 6.

Ting tong. Bel pintu berbunyi.

​"Biar aku saja yang membuka," ucapku pada Alliane yang tengah mempersiapkan makanan. Akupun berjalan menuju pintu dan kemudian membukanya, hingga aku bisa melihat dua orang laki-laki yang sudah kukenal beberapa hari ini. Dylan dan Andrew.

"Heeiii!" seruku gembira sambil memeluk kilat mereka bergantian. "Ayo masuk!" ajakku.

"Wow, sepertinya apartemenmu yang ini terasa nyaman," ujar Dylan.

"Aku juga berpikir begitu dari awal saat aku membeli apartemen ini," ucapku setuju. "Kalian bisa meletakkan itu di kursi situ," ucapku sambil menunjuk barang-barang bawaan Dylan dan Andrew. Sementara itu, aku berjalan menuju dapur untuk mengambil gelas.

"Mau kubantu?" Aku hampir saja memekik terkejut disaat Andrew datang.

Aku yang sedang kesusahan mengambils gelas wine di lemari atas, mencoba menoleh ke belakang dimana Andrew berdiri disitu. "Ya, tentu. Bisa kau ambilkan gelas-gelas itu? Ternyata aku terlalu pendek untuk mengambilnya," ucapku sambil mundur beberapa langkah dan menunjuk pada gelas-gelas yang belum jadi kuambil.

"Okay," ucap Andrew sambil berjalan dan mengambil gelas-gelas tadi dengan sangat mudahnya. "Ini," ucapnya sembari menyerahkan gelas-gelasnya.

​"Terima kasih. Aku sangat iri pada yang punya badan tinggi sepertimu," ucapku sambil terkekeh setelah menerima gelas-gelas tadi dari Andrew.

Kudengar Andrew tertawa kecil. "Tidak perlu. Syukuri saja yang sekarang. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing," ucapnya bijak.

Aku menoleh sekilas pada Andrew dan tersenyum sebagai jawabannya. "Terima kasih atas kata-kata bijaknya," ucapku sambil menata gelas-gelas tadi.

"Boleh aku mengatakan sesuatu?" tanya Andrew.

"Apa?" tanyaku.

​"Kau... terlihat cantik malam ini," ucap Andrew.

Sontak, aku menoleh kepada Andrew dan senyumku langsung mengembang. "Terima kasih. Tapi, ini dandanan setiap hariku. Jadi, kurasa ini biasa-biasa saja," ucapku merendah.

"Yah, cantikmu dengan cantiknya perempuan yang lain itu berbeda," ucap Andrew lagi memujiku.

Aku tertawa geli. "Sudahlah, sudahi rayuanmu itu dan bawa gelas-gelas ini ke depan," ucapku sambil menyerahkan gelas-gelas tadi.

"Okay, okay," jawab Andrew sembari berjalan pergi.

Usai selesai dengan urusan dapur, akupun menuju ruang depan bergabung dengan yang lainnya. "Oke, nyonya rumah sudah datang!" seru Alliane.

Aku duduk di sofa samping Alliane sambil tertawa geli dan menggelengkan kepalaku geli karena Alliane. "Terima kasih sudah datang di pesta yang sangat kecil ini, teman-teman," ucapku sambil menatap mereka bergantian.

"Senang aku bisa diundang datang kesini," ucap Andrew sambil mengangkat gelas wine-nya dan kemudian meminumnya. "Terima kasih juga, Yocelyn," lanjutnya.

"Terima kasih karena mengundangku juga," ucap Dylan.

​"Kalian nikmati saja cemilan yang ada. Kalau mau nonton tv atau film, ada kaset di lemari bawah tv," ucapku. "Aku ke kamarku dulu sebentar," ucapku sambil berdiri dari kursi dan kemudian masuk ke kamarku.

Aku duduk di kasur empukku sembari sedikit berpikir. Aku menghembuskan napasku sedikit kasar dikala nama Devian muncul di kepalaku. "Apa aku harus meneleponnya dan memintanya datang kesini?" tanyaku pada dirinya sendiri sambil memainkan ponsel di tanganku.

Lama aku berpikir, tiba-tiba saja dari luar Yocelyn berteriak, "Yoce, kita mau nonton Suicide Squad! Kau gabung tidak?"

Lamunanku tentu saja buyar. Terpaksa, akupun tidak jadi menelepon Devian.

***

Devian POV
Malam ini aku sangat lelah, seharian mengurus pengambilan gambar bersama Andrew dan lagi aku yang mengurus jalannya perusahaaan yang masih baru hingga malamnya. Tadi sebenarnya aku mengajak Andrew untuk makan malam bersama, tapi rupanya dia sudah langsung pergi. Kupikir, sepertinya dia sudah punya acara sendiri.

Aku merebahkan diriku di kasurku yang sudah kurindukan ini. Aku menatap langit-langit kamarku. Kemudian aku menghembuskan napasku kasar.
​"Apa kemarin candaanku terlalu berlebihan?" tanyaku pada diriku sendiri.

Tiba-tiba saja aku memikirkan Yocelyn tentang kemarin dan aku tidak tahu kenapa. Aku jadi sedikit merasa bersalah karena bercanda yang tidak-tidak kemarin.

Aku berpikir lama sekali, hingga aku langsung terduduk kembali di kasurku. "Apa aku harus meneleponnya sekarang untuk minta maaf tentang kemarin?" tanyaku pada diriku sendiri. "Ah, tidak. Kalau sudah minta maaf, lalu selanjutnya apa? Lagipula tidak baik juga, minta maaf melalui telepon saja," ucapku lagi yang masih saja bergelut dengan pikiranku sendiri, membuatku frustasi.

"Argh," erangku frustasi.

​Kini, aku merasa seperti ingin menelepon Yocelyn. Tapi untuk apa? Untuk mendengar suaranya? Tentu saja, tapi itu tidak akan kukatakan padanya.

"Telepon, tidak. Telepon, tidak. Telepon," ucapku sambil menghitung kancing yang ada di kemejaku yang jumlahnya hanya 5 buah dan akupun berhenti pada hitungan untuk menelepon Yocelyn.

"Telepon?" tanyaku pada diriku sendiri. Sementara itu, aku sudah menguap karena mengantuk. Mataku saja sudah berdaya sedikit. Semua ini sungguh melelahkan.
——————————————————————————
Tbc.
Saturday, 12 October 2019

First Love - Bachelor Love Story #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang