19 | The Fight Will Never End

1.3K 59 0
                                    

Yocelyn POV
"Terima kasih karena sudah mau mengerti aku, Andrew," ucapku pada Andrew yang sudah ada di dalam mobil. Aku tidak ikut bersama dengannya karena aku sedang ingin sendiri sekarang.

"Tidak apa," timpal Andrew sambil tersenyum manis padaku. Tapi aku tahu senyum macam apa itu. Senyumnya tidak sampai hati. Aku tahu itu. Ya Tuhan, aku baru saja menyakiti hati anak orang

"Hati-hati di jalan," ucapku yang langsung diangguki oleh Andrew dan dia langsung melenggang pergi dengan Ferrari F12 berlinetta-nya.

Aku pun menghela napasku. Entah kenapa sekarang semangatku untuk bekerja yang tadinya mencapai level tertinggi, kini sudah sampai di titik terendah. Aku berjalan menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Setelah beberapa langkah berjalan, aku berhenti dan berbalik ke samping kananku yang memperlihatkan Sungai Thames.

Lagi-lagi aku membuang napasku dengan sedikit kasar. Aku menatap kosong pemandangan di depanku.

"Baru saja ada yang menyatakan perasaannya padaku," gumamku lirih masih dengan tatapan kosong. Tapi detik kemudian aku tertawa hambar.

Sungguh, pikiranku sedang kacau sekarang. Bagaimana tidak? Andrew yang kuanggap sebagai sahabat, tadi mengungkapkan perasaannya dan memintaku menjadi kekasihnya. Itu hal gila yang pernah terjadi padaku selama beberapa hari ini.

Maksudku, Andrew tidak gila. Melainkan, fakta bahwa dia memintaku menjadi kekasihnya, tapi aku menolaknya dengan alasan karena aku yang belum siap untuk menjalin hubungan. Tapi tentu saja itu suatu kebohongan.

Alasan utamaku kenapa aku tidak menerima Andrew, karena Devian. Ya, karena laki-laki itu. Katakan saja aku ini bodoh karena masih berharap pada Devian yang hanya menganggapku teman saja. Tapi aku tidak bisa memungkirinya kalau aku memang benar-benar tidak bisa berpaling dari Devian.

Aku sudah memantapkan tujuanku padanya. Tapi ia justru menganggapku tak lebih dari temannya.

Sakit, bukan? Itu memang yang kurasakan selama setahun ini lamanya.

Setelah satu jam lamanya aku hanya berdiri di samping Sungai Thames, akupun memutuskan untuk kembali ke kantor. Karena hari juga sudah sore dan aku ingin segera pulang untuk menjernihkan pikiranku.

Tapi sepertinya itu semua harus kutunda dulu. Karena aku baru saja membuat kekacauan dengan menabrak seorang perempuan, hingga menumpahkan es kopinya ke kemeja putihnya.

"Ya Tuhan! Maafkan aku! Aku sangat minta maaf!" seruku panik sambil mengeluarkan tisu dari tasku dan memberikannya pada perempuan tadi.

"Tidak perlu!" Aku terkejut saat perempuan itu tiba-tiba saja membuang tisu yang kuberikan dan berseru dengan kesal. "Sebenarnya matamu itu dimana, ha? Punya wajah cantik, tapi mata tidak dipakai dengan benar," gerutu perempuan itu.

Aku termenganga, terdiam seperti patung setelah mendengar perkataan pedas perempuan itu. Tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. "Permisi, bisa kau tarik kata-katamu tadi?" ucapku masih menahan amarah.

"Tidak akan!" seru perempuan itu penuh penekanan.
​Oke, itu membuatku kehilangan kesabaran. Dia salah memilih lawan!

"Hei, sudah bagus aku mau minta maaf dan mencoba untuk membantumu. Tapi kau justru menolaknya dan mengataiku seperti itu. Sebenarnya akal sehatmu dimana, HA?!" seruku kesal.

"Jaga bicaramu!" seru perempuan itu tak mau kalah.

Aku berseringai. "Seharusnya kau yang harus menjaga mulutmu yang sudah kau operasi itu! Bicara saja tidak sopan," gerutuku tak kalah pedas.

Aku sadar betul kalau perkataanku barusan sudah menyulut api kebencian pada perempuan itu. Dan aku memang betul. Karena selanjutnya tiba-tiba saja perempuan itu menyiramiku dengan sisa es kopinya tadi. Tentu saja aku tidak terima. Alhasil, kami berakhir dengan bertengkar di trotoar.

First Love - Bachelor Love Story #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang