38 | Dilemma

1.1K 58 2
                                    

Yocelyn POV

Selamat pagi, dunia! Senang sekali pagi ini aku bangun di kamarku sendiri. Terlebih, dengan kondisi yang sangat sehat. Bahkan, rasanya semua kekuatanku sudah kembali. Rasanya aku bahkan hendak melompat-lompat kegirangan seperti orang gila dan itu memang sedang kulakukan sekarang sembari menuju jendela besar kamarku dan membuka tirainya.

Kubuka pintu balkon kamarku dan berjalan perlahan keluar. Kututup kedua mataku dan kuhirup udara segar London di pagi ini. Kemudian kuhembuskan pelan-pelan sembari merentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Kubuka mataku dan tersenyum lebar.

Entah kenapa rasanya hari ini aku ingin pergi menjauh sejenak dari dunia pekerjaanku dan berlibur sebentar ke suatu tempat. Lagipula, Luke juga menyarankan begitu padaku. Mungkin memang seharusnya dari awal aku tidak terlalu serius pada pekerjaanku dan menyelinginya dengan liburan.

Tapi, aku tidak suka sendirian. Tidak mungkin aku akan pergi sendiri, karena aku benci itu.

"Mungkin aku bisa mengajak Alliane?" ucapku pada diri sendiri sembari berpikir dan memanyunkan bibirku.

Seketika, aku membayangkan pergi bersama Alliane. Sudah pasti uangku akan terkuras habis. Bukan karena Alliane yang mengurasnya. Tapi karena Alliane adalah shopaholic yang berkebalikan denganku. Kalau aku pergi bersamanya, aku akan tertular shopaholic-nya dan pada akhirnya uangku akan berkurang banyak hanya karena aku belanja hal-hal yang mungkin tidak kuperlukan dalam waktu dekat ini.

"Tidak tidak," ucapku sembari menggelengkan kepalaku sedikit keras. "Sudah pasti tidak bersamanya," lanjutku lagi dengan pasti.

"Tapi, siapa yang akan kuajak pergi bersama?" tanyaku sedikit gusar.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi keras tepat saat aku menundukkan kepala karena sedikit gusar. Walaupun aku sebenarnya sedikit heran siapa yang datang ke apartemenku pagi-pagi ini, aku tetap berjalan ke pintu depan dan membukanya.

"Surprise!" Tiba-tiba seseorang berseru keras sembari membuka buket bunga besar yang ia bawa.

lAndrew?" ucapku seperti bertanya pada diri sendiri.

"Kenapa? Kau seperti tidak suka melihatku datang?" ucapnya entah bercanda atau tidak.

"Ada apa datang kemari sepagi ini?" tanyaku tanpa basa-basi.

Andrew menyipitkan mata kirinya padaku dengan wajah yang aneh dan membuatku menatapnya dengan semakin aneh pula. "Apa kau tidak akan membiarkanku masuk dulu?" ucapnya kemudian.

Aku menghela napas sambil memutar kedua bola mataku. "Maafkan ketidaksopananku, Tuan. Silakan masuk!" ucapku sembari membuka pintu sedikit lebar mempersilakan Andrew masuk. Seketika itu pula Andrew langsung tersenyum lebar sembari masuk.

"Jadi, bisa kau jawab pertanyaanku tadi?" tanyaku pada Andrew setelah aku menutup pintu dan kulihat dia sudah ada di dapur seperti mencari sesuatu. "Apa yang kau lakukan disitu, Andrew?" tanyaku lagi sambil menyipitkan mata dan menghampirinya.

"Dimana aku bisa meletakkan bunga ini? Ini masih fresh, kau tahu?" tanyanya tanpa menatapku dan masih mencari-cari.

Tanpa berpikir panjang aku langsung mengambil sebuah vas tinggi yang memang itu tidak terpakai. Kemudian, aku mengisinya dengan air setengah.

"Kau bisa meletakkannya disini," ucapku sambil menyerahkan vas tadi.

Andrew tersenyum lebar sambil menatapku dan kemudian mengambil vas itu. "Terima kasih, Nona. Kau sudah menyelamatkan nyawanya," ucapnya yang membuatku memutar kedua bola mataku, lagi.

"Apa rencanamu hari ini, Yoce?" tanyanya sambil beranjak menuju sofa. Sementara aku meletakkan vas bunga tadi di meja makan.

"Rencanaku?" jawabku seperti bertanya balik.

"Ya, rencanamu apa hari ini?" tanyanya lagi dan aku menghampirinya. Namun, saat aku hendak menjawabnya, bel pintu berdering keras lagi.

"Sebentar," ucapku pada Andrew sembari berjalan menuju pintu depan dan membukanya tanpa banyak pikir.

"Devian?" Lidahku tercekat. Aku hanya menatap laki-laki berperawakan tinggi di depanku dengan tanpa kedip dan masih belum percaya kalau Devian berdiri di hadapanku.

"Selamat pagi," sapanya dengan senyum manis yang tiba-tiba saja bisa membuatku meleleh. Aku jujur itu. Entah karena jenggotnya yang sudah ia potong atau rambutnya yang ia tata, atau apalah itu, aku tidak tahu.

"Umm..." Aku tersadar dari lamunan bodohku dan menggelengkan kepala kecil. "Selamat pagi," sapaku balik sambil menatapnya dan tersenyum manis pula.

"Maaf mengganggumu pagi-pagi ini," ucapnya halus.

"Tidak, sungguh tidak mengganggu," timpalku cepat. "Ada apa, Devian?" tanyaku kemudian.

"Aku hanya..." Devian masih belum melanjutkan kalimatnya dan aku masih menunggu kalimat berikutnya. "Luke bilang padaku kalau kau perlu liburan dan refreshing. Jadi, aku berpikir... mungkin aku bisa menemanimu untuk liburan sebentar," ucapnya kemudian yang terdengar seperti mengajak tapi juga seperti kurang yakin dengan perkataannya sendiri. Entah kenapa itu terasa menggemaskan.

Aku menundukkan kepala, menggigit kecil bibir bawahku, dan tersenyum kecil. "Well, Luke benar," ucapku sambil menatap Devian kembali. "Terima kasih karena sudah menaruh perhatian padaku," lanjutku yang memang tulus.

"Honey!"

Rasanya dunia ini berhenti berputar. Aku seperti sebuah gunung yang hendak meluapkan isinya. Semua sumpah serapah sudah hendak kukeluarkan saat Andrew memanggilku dari dalam dengan panggilan menjijikkan itu. Aku bahkan lupa kalau Andrew ada di apartemenku.

Aku tidak mempedulikan panggilan Andrew. Justru yang kupedulikan sekarang adalah raut wajah Devian yang tidak bisa kudeskripsikan. Entah apa yang ia pikirkan sekarang ini. Tapi aku yakin dia memikirkan sesuatu yang negatif.

"Devian, dia—"

"Lihat siapa yang datang!" Tiba-tiba, dari dalam sebuah suara yang tidak kuharapkan menginterupsiku. Oh, rasanya aku sudah akan menendangnya sekarang ini.

Andrew datang diantara aku dan Devian. Aku hanya menoleh ke arah lain sambil menutup kedua mataku. Aku sungguh tidak ingin melihat bagaimana Devian melihatku saat ini.

"Tak kusangka bisa melihatmu sepagi ini, Devian," ucap Andrew dengan nada yang tak kusuka. Bahkan siapapun yang mendengarnya pasti tidak suka mendengarnya.

"Aku juga tidak menyangkanya," timpal Devian yang saat kulirik sedikit ia tengah menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Kau datang pagi sekali, Andrew," lanjut Devian.

"Yah, begitulah. Aku menyempatkan waktuku untuk Yocelyn yang baru saja keluar dari rumah sakit," timpal Andrew seakan-akan bangga pada dirinya sendiri akan itu. Sementara aku hanya menggeleng kecil tak suka.

"Begitu rupanya," ucap Devian. "Kalau begitu sama denganku," ucapnya lagi sambil mengantungkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

"Benarkah?" tanya Andrew.

"Tentu saja," timpal Devian sambil tersenyum lebar. "Aku akan meluangkan waktuku sesibuk apapun itu hanya untuk Yocelyn."

Seketika, aku luluh dibuatnya, lagi. Aku masih belum bisa percaya dia mengatakan serangkaian kalimat itu dengan lantang dan percaya diri. Bahkan, aku semakin dibuatnya luluh lagi ketika beberapa detik kemudian ia menatapku, tersenyum manis padaku, dan mengedipkan mata kirinya padaku.

Sungguh, aku tidak mengerti ini. Dua laki-laki datang ke apartemenku pagi-pagi. Sekarang mereka berdua ada di depanku saling bertatap muka seakan-akan memperebutkanku—bukannya aku terlalu percaya diri.

Seharusnya sekarang aku senang karena Devian seperti memberi perasaannya kepadaku. Tapi entah kenapa aku seperti dilanda dilema. Tuhan, bantu aku mengatasi keadaan ini!
——————————————————————————
Tbc.
Tuesday, 4 February 2020

seketika, aku iri sama yocelyn🥺🥺

First Love - Bachelor Love Story #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang