DIFOME~32

61 23 0
                                    

Hal terbodoh yang pernah kulakukan adalah menjadikan sahabatku sebagai rival. Aku tak mengerti, apakah itu pikiran jahat, atau hal lain. Rasa penyesalanku masih tertancap dari lubuk hati. Aku memang bodoh, mencintai orang yang dicintai sahabatku.

Pagi ini Azmi meminta aku bicara empat mata dengannya di rooftop sekolah. Entah apa yang akan Azmi sampaikan, aku berharap semuanya baik-baik saja.

Dengan langkah tergesa-gesa, aku mengejar waktu untuk kesana. Sebelum bel masuk berbunyi, marilah aku legakan pikiran terlebih dahulu. Aku siap, mengatakan to the point nantinya. Bahwa Chilla ingin memilikinya dari dahulu.

"Azmi, ada apa?" aku berjalan mendekati pria itu, dengan sedikit gugup. Jantungku berdebar kencang, seolah-olah akan ada kemalangan menghadang.

"Vasha, sini." ajaknya, agar aku berdiri disamping Azmi.

Azmi mengambil nafas dalam, lalu ia memalingkan arah sesaat dariku, "Maksud yang kemarin itu apa?" tanya nya yang membuatku bingung memberi jawaban.

"Yang di perpustakaan? Anu, mm..." aku menundukkan pandangan ragu.

"Jangan sungkan, jujur aja." Azmi lagi-lagi menegakkan daguku, hingga kami bertatapan. Kali ini mata Azmi menampakkan simbol begitu berarti. Yang tak bisa kubaca, dengar, tapi bisa kurasa bahwa itu mengandung makna dalam.

"Chilla, dia, dia, dia,"

"Kenapa?"

"Di-dia, suka ke elo!" aku memejamkan mata usai mengatakan itu.

"Terus, kenapa lo nangis?"

Aku tak sadar, air mata kembali kesekian ribunya membasahi pipiku.

"A-aku nggak bisa nerimanya."

Azmi meraih tanganku dan meletakkan pada dadanya yang bidang itu, "Aku bisa ngerasain, kalau kamu suka juga kan ke aku?"

"I-iya, maaf"

"Terimakasih Vasha, lo udah ngejawab semuanya." Azmipun menghapus air mataku dengan tisunya.

"Tapi, gue selama ini cuman kasihan, makanya ngajak lo belajar, sampai perhatian. Mungkin rasa gue, nggak lebih. Sekali lagi, maaf."

Perkataan itu lebih menyakitkan ketika aku langsung mendengarnya dari mulut Azmi. Dia benar, aku sepertinya yang terlalu bawa perasaan. Sementara, Azmi hanya menganggapku sebagai teman.

Aku menangis lebih deras dari sebelumnya. Kenapa ini begitu tak adil? Apakah ini yang dinamakan cinta bertepuk sebelah tangan? Mungkin benar, diriku jauh berbeda dari mereka yang sempurna.

"Vasha, tolong menetap dulu ya. Sampai aku benar-benar bisa menempatkan kamu dihatiku." Azmi mengenggam tanganku erat.

Aku sesekali memberanikan diri melirik kewajahnya. Alangkah terkejutnya aku melihat Azmi yang sudah berlinang air mata.

"A-aku akan semampunya menunggumu."

Azmi dengan cepat membawaku kepelukannya. Ia mengelus rambut dan punggungku begitu lembut. Dengan jelas, aku bisa mendengar isak tangis dari Azmi. Ia begitu mudah larut dalam suasana. Azmi kembali membuatku enambah rasa padanya. Hingga begitu berat melepas pria ini, apalagi Bersama wanita lain.

Azmi mungkin sadar, bahwa cinta itu bisa hadir. Cinta bisa datang. Cinta juga bisa pergi. Namun, satu yang nggak cinta bisa lakukan. CINTA TAK BISA MENUNGGU. Aku sungguh berharap pria itu mengerti dengan keadaan.

Lagi-lagi, aku berada dijembatan kebimbangan.

Different From Me [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang