Di pagi harinya, Prima dan Bagas bersiap untuk memulai misi di hari pertama mereka. Pak Adhikara pun telah menanti di depan penginapan. Taxinya tampak begitu bersih.
"Mobilnya baru saya cuci. Bersih kan?" tanya Pak Adhikara pada Bagas dengan bahasa lokal. Bagas tersenyum mengangguk.
"Siap berangkat sekarang?" tanya Pak Adhikara lagi.
"Siap. Ayo pak," jawab Bagas.
Sebelum itu, mereka sempat tercengang dengan penampakan rumah mewah yang berada di seberang jalan, tepat di depan penginapan.
"Rumahnya besar sekali, ya," ucap Bagas dengan bahasa India.
"Iya. Kalau tidak salah, itu rumah seorang pejabat. Ya tahu kan, bagaimana rumah orang kaya di India. Pasti mewah seperti itu," jelas Pak Adhikara.
"Bapak tidak tahu itu rumah siapa?" tanya Bagas lagi.
Pak Adhikara menggeleng. "Saya tidak tahu."
Sedangkan Prima merasa menjadi pendengar saja sekarang, ia tidak paham apa yang dibahas oleh kedua orang itu.
"Kalian ngomongin rumah itu, ya? Dari tadi lihat ke sana," tanya Prima pada Bagas.
"Iya. Kata Pak Adhikara, itu rumah orang kaya. Gede banget kan, Prim?"
Prima mengangguk-ngangguk setuju. Tampak luas halaman rumah itu seluas lapangan sepak bola, ditambah pagar yang menjulang, dan tanaman pohon-pohon besar yang dihiasi kain warna-warni. Ia yakin bagian dalam rumah itu bisa lebih besar lagi seperti yang ada di film-film India.
Mereka pun menaiki taxi dan siap dengan seatbelt masing-masing. Namun, tiba-tiba Bagas berteriak.
"Astaghfirullah, lupa! Pak, sebentar ya," dengan segera ia membuka pintu taxi dan masuk kembali ke penginapan. Prima dan Pak Adhikara tentu heran dibuatnya.
"Lupa apaan tuh anak?" ucap Prima pada dirinya sendiri.
Pak Adhikara menghadap ke belakang, tersenyum memandang Prima dan berkata dengan bahasa India, "Kamu siapanya Bagas?" maksud Pak Adikara, apakah Prima dan Bagas memiliki hubungan keluarga atau hanya berteman saja.
Mendengar itu, Prima menggeleng, sebab dia tidak tahu sama sekali apa yang dibicarakan Pak Adhikara dengan bahasa India itu.
Pak Adhikara justru ikut menggeleng. Ia lalu bertanya lagi, "Namamu siapa?"
Prima kembali menggeleng. Kini gelengannya menjadi lebih cepat. Ia tidak tahu harus berbuat apa selain menggeleng. Yang ia tahu selama menonton film bollywood, orang India akan bercakap sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menggerak-gerakkan tangan sebagai bahasa tubuh.
Alis Pak Adhikara kini bertaut, ia merasa heran dengan sikap Prima yang sedari tadi hanya menggeleng.
"Namamu siapa? Your name your name?" tanya Adhikara.
"Oh," Prima melega sekarang. Ternyata Pak Adhikara menanyakan namanya. "My name Prima. Prima Rafideswira."
Pak Adhikara pun mengangguk. Akhirnya ia tahu nama penumpangnya yang satu ini. "My name Adhikara. Bagas itu orangnya baik, ya. Orang indonesia memang ramah," kata Pak Adhikara kembali menggunakan bahasa India, membuat Prima kembali kebingungan.
"Sorry mister. I cannot cannot India. Saya tidak bisa bahasa India," jelas Prima. Sesaat Pak Adhikara tampak berpikir apa maksud dari Prima.
"Nahin?" tanya Pak Adhikara.
"Iya, nehi. No speaking speaking India," jawab Prima asal.
Pak Adhikara lalu terkekeh. Ia mulai paham bahwa Prima tidak bisa bahasa India. Melihat itu, Prima juga ikut terkekeh.
Setelahnya Bagas kembali masuk ke dalam taxi.
"Lo lupa apaan sih?" tanya Prima.
"Ini, Quran sama snack kacang."
Prima menggeleng-geleng. Merupakan kebiasaan seorang Bagas bila pergi ke mana saja harus membawa Quran sekaligus snack kacang.
"Pak, ini buat Bapak. Rasanya enak, Pak. Kacang Indonesia!" kata Bagas sambil memberi sebungkus kacang kepada Pak Adhikara.
"Wah, terima kasih. Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Pak Adhikara.
"Siap, Pak. Ayo berangkat!"
👫
CAS: bersikap baik dengan siapa saja. You have to.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Teen FictionHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...