Pak Adhikara telah tiba di depan penginapan untuk menjemput Prima dan Bagas. Malam itu, tepat pukul delapan, mereka telah bersiap untuk berangkat. Ransel dan barang bawaan telah siap dikemas.
"Prim, pamitan dulu sama Vidi, ya? Sama Bu Ayu juga," saran Bagas.
Prima yang sedang mengikat tali sepatunya hanya menjawab singkat, "Iya, sebentar aja."
Keduanya lalu menemui Pak Adhikara yang menanti dengan taxi kesayangannya itu. Setelah memasukkan ransel ke dalam bagasi, keduanya lalu berjalan kaki menuju rumah Vidi.
"Is Vidi at home, Sir?" tanya Bagas pada satpam yang sedang berjaga. Satpam yang semula selalu tampak galak, menjadi lebih ramah saat menjumpai mereka.
"Nahin. Vidi still work at her office," jawab satpam itu sambil menggeleng.
"Nggak ada?" tanya Prima pada Bagas. Bagas mengangguk mengiyakan. Kemudian mereka meminta izin untuk menemui Bu Ayu. Satpam itu pun mengizinkan mereka masuk.
Saat bertemu Bu Ayu, mereka mulanya disilahkan untuk duduk di ruang tamu. Namun, keduanya menolak karena harus segera ke bandara.
"Sayang sekali, Vidi masih kerja. Harusnya kalian bisa ketemu di sini sebelum berpisah," ucap Bu Ayu.
Prima tersenyum. Bu Ayu yang dianggapnya sebagai calon mertuanya itu sungguh baik.
"Bu, boleh numpang ke toilet?" tanya Prima.
"Iya boleh, dong. Lurus saja, terus belok kanan, ya."
Prima pun menuju toilet. Ia tak sempat lagi celingukan dengan kemewahan rumah itu, sebab sudah sekian kali ia bisa ada di sana. Tibanya di toilet, ia menatap cermin wastafel. Tujuannya ke toilet bukanlah untuk buang air kecil, melainkan membuat surat. Ia keluarkan kertas dan sebuah pulpen yang sudah ia siapkan di saku celananya, lalu mulai menulis. Ponselnya juga ia gunakan agar dapat membantunya menyelesaikan tulisan itu.
Di depan rumah, Bu Ayu bersama Bagas masih berdiri di dekat pintu. Bu Ayu kembali bicara, "Lain waktu, kalian datang lagi ya ke India."
Bagas tersenyum. "Iya, Bu. Insya Allah. Kalau Ibu ke Indonesia, jangan lupa kabarin aja, Bu."
"Iya, Ibu pengen jualan Sari di Indonesia. Kira-kira laku nggak, ya?" tanyanya sambil terkekeh pelan. Bagas tersenyum saja mendengarnya.
Prima pun tiba menghampiri keduanya. "Bu, saya boleh minta tolong sama Ibu?" tanya Prima.
"Tolong apa, Prim?"
"Ini," sebuah kertas terlipat tampak di tangan Prima, "saya titip ini sama Ibu, ya. Buat Vidi."
Bagas tak bisa menyembunyikan ekpresi terkejutnya. Ia merasa Prima begitu romantis. Meski ia sendiri tidak tahu apa yang ditulis Prima dalam surat itu.
"Ah, ya ampun, Prima," ujar Bu Ayu sambil menerima surat itu, "saya jadi ingat kalau main surat-suratan begini pas masih muda dulu. Pas saya SMA di Palembang, saya sering banget kirimin surat buat kakak kelas yang saya suka," Bu Ayu tampak tersipu-sipu, "sayangnya nggak ada satu pun yang dibalas."
Mendengar itu, Bagas dan Prima hanya saling pandang. Justru mereka malu mendengar curhatan Bu Ayu.
"Memangnya kalian nggak nyimpan nomornya Vidi?" tanya Bu Ayu lagi, "Ibu kasih, ya?"
Prima pun menolak dengan sopan. "Nggak usah, Bu. Nggak apa-apa."
"Bener nih, nggak mau?"
"Iya, Bu. Nggak usah," jawab Prima. Bagas juga menjawab sama, mengikuti Prima.
"Achchha. Kalian hati-hati di jalan, ya. Salam buat keluarga kalian di sana."
Usai berpamitan, Prima dan Bagas kembali ke penginapan dan menemui Pak Adhikara. Kemudian mereka pun berangkat menuju bandara Indira Ghandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Roman pour AdolescentsHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...