Vidi terlebih dulu izin pada stafnya untuk pulang lebih awal. Ayahnya merupakan salah satu pejabat negara sekaligus pemilik penerbit Milenial. Hal itu belum Vidi ceritakan kepada kedua teman barunya, yakni Prima dan Bagas.
Sembari menunggu Vidi, ketiga orang lainnya telah menunggu di lobi, tepat tidak jauh dari meja resepsionis. Bagas pun mulai bicara dengan Prima apa yang sedari tadi memenuhi pikirannya.
"Prim, lo kenapa bohong, sih?"
"Hah, bohong apanya?"
"Soal fotografi itu," tampak Bagas sedikit kesal, "kenapa lo harus pakai cara bohong? Gue bantuin lo supaya misi ini bisa tercapai. Apa salahnya kalau lo bilang kalau lo mau kenalan sama Vidi? Nggak pakai bohong juga."
"Udah, lo santai aja. Iya, nanti gue bakalan jelasin ke dia, kok."
"Jelasin apa? Lo bakalan makin banyak bohongnya ntar kalau lo nggak jelasin dari sekarang," ungkap Bagas berusaha sabar, "gue minta sama lo nggak usah pakai alasan fotografi, tugas kantor atau apa. Tinggal bilang aja rencana awal, kalau lo mau kenalan sama dia."
Melihat kedua penumpang setianya sedang bersitegang, Pak Adhikara segera paham situasi walau ia sendiri tidak tahu apa yang mereka ributkan itu. Dengan sopan ia memegang bahu Bagas dari belakang. "Apa semua baik-baik saja, Bagas?"
Mendengar pertanyaan itu, Bagas memilih duduk di kursi. Ia teringat bila seseorang sedang marah, harusnya berada dalam posisi terendah. Bagas merasa ingin berwudu sekarang. Ia kembali berdiri dan menuju toilet.
Pak Adhikara merasa cukup khawatir saat ini. Ia mencoba bertanya dengan Prima dengan bahasa Inggrisnya, "Is everything okay, Prima?"
Prima hanya mengangguk pelan dan menjawab singkat, "Acchca," ia pun mengajak Pak Adhikara duduk di dekatnya. Kata-kata Bagas terasa tamparan baginya. Kenapa ia sampai berbohong, ia tidak mengira bila akan serumit itu.
Vidi pun tiba di lobi, menemui Prima dan Pak Adhikara. Tampak di lengan Vidi sebuah tas denim, persis petunjuk mimpi Prima. Prima tersenyum memandang tas itu.
"Mana Bagas?" tanya Vidi.
"Masih ke toilet. Saya susul dia sebentar," ucap Prima lalu beranjak. Niatnya sekaligus ingin meminta maaf.
Sampai di toilet, Prima menemui Bagas yang baru selesai berwudu. Ia mengajak Bagas bicara di luar.
"Maafin gue, Gas. Kita nggak harusnya berantem."
"Maaf, gue juga salah. Gue harusnya nggak marah-marah."
Keduanya diam. Bagas yang tadinya belum selesai mengikat tali sepatu, kembali menyelesaikannya.
"Gue janji, gue bakalan jujur sama dia kalau soal fotografi itu bohong," kata Prima.
Bagas berdiri kembali saat sepatunya sudah selesai diikat. Ia memandang sepupunya itu, "Janji harus ditepati, Prim. Jangan lo hilangin kepercayaan orang-orang yang udah percaya sama lo. Orang itu gue, Mami lo, bahkan Vidi," ujar Bagas dengan jari telunjuk terangkat. Prima lalu mengangguk.
"Sekarang damai, kan? Lo nggak marah lagi, kan?" tanya Prima.
"Iya, damai," ucap Bagas, "lo kayak anak kecil, ah," ujarnya sengaja meledek.
"Baru aja damai, udah ngeledek lagi," canda Prima. Keduanya lalu berjalan menuju lobi.
"Kan, benar, kan? Nama panggilannya Vidi, bukan Vati," ucap Prima merasa menang. Ia ingat perdebatan mengenai hal itu bersama Bagas.
"Iya, iya. Lo menang, gue kalah. Ngomong-ngomong Kareena Kapoor juga kalah cantik dari dia."
"Jadi lo udah ngaku, nih? Baru sadar sekarang?"
"Iya, cantik Vidi, dong. Soalnya si Kareena nggak pakai hijab," ucap Bagas tersenyum. Mereka pun tiba di taxi dan menemui Pak Adhikara dan Vidi telah berada di sana.
👫
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Ficção AdolescenteHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...