48 ✈ Cemburu dan Siasatnya

155 10 2
                                    

Usai menjenguk, keduanya berjalan menuju penginapan. Terpegang di tangan Bagas sebuah berkas milik Vidi. Selama berjalan, Prima hanya diam saja. Bagas pun tidak menyadari adanya perubahan sikap dari sepupunya itu.

"Nggak enak mau numpang makan, iya, kan? Lagian kasihan Vidi sakit," ucap Bagas.

"Iya, tadi juga kita udah makan. Nggak mau ngerepotin Bu Ayu juga," jawab Prima senatural mungkin, ia tak ingin rasa sakit hatinya diketahui oleh Bagas.

Karena waktu yang begitu singkat, tibanya di penginapan, Bagas lalu menelepon Pak Adhikara untuk menjemput mereka. Bagas pun bersegera mandi. Berkas itu harus diantar secepatnya, itu sebabnya mereka lekas bersiap.

Sembari Bagas berada di kamar mandi, Prima terus berdebat dengan hati dan pikirannya sendiri. Ia begitu kecewa. Entah kecewa pada Vidi, pada Bagas, atau pada keduanya. Betapa ia ingat saat Vidi memandang Bagas lalu meminta bantuan. Seketika ia merasa cemburu.

Demikian akal sehat sudah tak berlaku, Prima pun ingin menumpahkan rasa kecewanya dengan cara menjebak Bagas. Diambilnya berkas beramplop yang ada di atas meja. Dengan perlahan dikeluarkannya isi amplop tersebut. Tampak di dalamnya kertas-kertas berupa formulir, surat pernyataan atau semacam itu. Prima mengeluarkan sebagian kertas itu dan tetap menyisakan sebagiannya lagi. Dengan begitu, isi amplop sudah tidak lagi lengkap. Ia yakin dengan cara itu, Vidi pasti akan marah dengan Bagas. Prima segera menutup kembali amplop cokelat itu dengan rapi.

Kertas-kertas yang sudah ia ambil kemudian disembunyikannya ke tempat lain. Mulanya ia bingung ke mana kertas-kertas itu akan ia simpan. Tatapannya lalu terhenti pada bagian atas lemari pakaian. Prima pun menyembunyikan kertas-kertas itu di sana. Setelahnya, ia letakkan kembali amplop di atas meja dengan posisi seperti semula.

Bagas lalu keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk. Seketika Bagas terkejut saat melihat Prima tiba-tiba meringis kesakitan.

"Aduuuuh!" rintih Prima sambil memegang perutnya.

"Eh, lo kenapa?" tanya Bagas.

"Uuh, g-gue... sakit perut. Uuuh!" Prima lalu berdiri hingga mendorong Bagas agar tidak menghalangi jalannya menuju kamar mandi, "awas! Brak!" suara pintu kamar mandi tertutup begitu keras.

Bagas menggerutu, "Saking nggak tahan sakit perut, masuk WC sampai nggak baca doa. Gitu, tuh," kemudian ia segera mengenakan pakaiannya untuk siap pergi ke Delhi Books. Selang beberapa menit, terdengar suara klakson mobil di depan penginapan. Tidak lain adalah Pak Adhikara yang datang menjemput mereka.

Prima keluar dari kamar mandi dengan begitu lemas. Kedua tangannya melingkar pada perut. Ia memanggil Bagas, "Gas, lo aja deh yang pergi. Perut gue sakit banget."

"Lah, nggak apa-apa nih, lo ditinggal sendirian?"

"Gue nggak apa-apa. Ini sakit perut gara-gara makan Dosa tadi. Gue kayaknya alergi sama bumbunya deh."

"Hm, malah nyalahin makanannya. Ya udah, gue pergi, ya. Pak Adhikara juga udah nunggu di depan."

Bagas lalu mengambil berkas amplop cokelat di meja. Ia sempat mengira amplop itu terasa ringan dari sebelumnya. "Kok ringan, ya?"

"Apanya? Namanya juga berkas. Isinya cuma kertas doang," kilah Prima.

Bagas pun tidak lagi mempermasalahkan itu. Dimasukkannya amplop cokelat itu ke dalam tasnya.

"Hati-hati rusak," pesan Prima.

"Ya, nggak lah. Ini amanah, lho. Mesti dijaga baik."

Mendengar ucapan Bagas, sesaat tebersit rasa penyesalan dalam diri Prima dikarenakan dua hal sekaligus. Pertama karena ia telah berbuat licik atas berkas-berkas itu guna menjebak Bagas. Kedua karena ia telah berbohong soal sakit perut.

Bagas lalu memasang sepatunya sambil berpesan, "Prim, kalau mau pakai minyak kayu putih, ada di dekat bantal gue. Ambil aja."

"Ogah, gue nggak suka minyak kayu putih."

Bagas mendecak. "Lagi sakit masih aja ngelawan. Gue pergi dulu, Prim. Lo jangan kemana-mana, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Prima. Tinggallah dirinya sendiri di kamar.

👫

TRAVELPRIM [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang