"Prim, saya mau bicara."
"Ada apa?"
Lebih dulu Vidi menarik napas. Ia beranikan menatap Prima, lalu bertanya, "Apa kamu punya rasa sama saya?"
"Hah?" Prima tentu saja terkejut dengan pertanyaan itu. Mudah baginya menjawab 'iya', tetapi mengapa harus diawali dengan pertanyaan Vidi? Tentu bukan momen seperti itu yang ia inginkan, "maksud kamu?" tanya Prima lagi.
Vidi menunduk lagi. Hati dan pikirannya beradu, ia siap atas risiko yang ada bila ia menyampaikan gejolak hatinya itu. Pandangannya kembali pada Prima. Keluarlah kata-kata dari mulutnya dengan jelas, "Maaf, Prim. Saya harus sampaikan ini sekarang. Saya tidak mau kamu berharap lebih sama saya, karena itu akan lebih menyakitkan lagi buat kamu," Vidi menarik napasnya pelan, "karena saya suka sama Bagas."
Prima tercengang. Ia merasa telinganya salah mendengar. "Apa?"
"Kamu ingat pertama kali kita ketemu di kantor? Tepat hari itu, saya bisa melihat sosok Bagas yang begitu sopan, apalagi di saat dia mengucapkan salam. Begitu juga kamu. Tapi ada sesuatu dari diri Bagas yang membuat saya justru senang padanya."
Prima benar-benar kehilangan kata-katanya. Belum sempat ia mengutarakan perasaannya pada Vidi, tetapi Vidi sudah menolaknya lebih dulu.
"Kita sudah sama-sama dewasa, Prim. Sudah saling mengerti. Sejak awal saya mengenal kamu, kamu selalu menunjukkan kebaikanmu untuk membuat saya tertarik. Caramu bicara, caramu bersikap, bahkan ketika saya marah saat kamu berbohong, saat itu sebenarnya saya tidaklah begitu marah, hanya saja saya merasa sedikit kecewa, kenapa di saat saya jatuh cinta pada Bagas, ternyata justru kamu yang jatuh cinta pada saya. Maafkan saya. Mungkin setelah ini kamu tidak ingin lagi berteman dengan saya, ingin menjauh dari saya, bahkan membenci saya, tidak apa-apa. Saya terima risiko itu. Sekali lagi saya minta maaf."
Prima merasa hati dan pikirannya berkecamuk. Selama ini Vidi menyayangi Bagas. Hebatnya Vidi begitu mampu menyembunyikan hal itu, atau barangkali Prima sendiri yang begitu naif sehingga tidak menyadarinya.
"Jangan sampaikan ini pada Bagas. Saya tidak mau dia menjadi merasa bersalah nantinya karena hal ini," pinta Vidi penuh harap, "saya juga yakin, saat kalian sudah pulang ke Indonesia, perasaan saya terhadapnya pasti akan hilang dengan sendirinya. Tolong, rahasiakan ini, Prima."
Prima tidak tahu apakah hendak mengangguk atau menggeleng. Rasanya seluruh udara di sekitarnya membuatnya begitu sesak. Terbayang dalam pikirannya, bahwa usaha melakukan perjalanan jauh yang ia tempuh, ternyata hanya untuk menemukan jawaban penolakan dari perempuan di depannya.
Ketegangan keduanya berakhir saat Bagas tiba. Vidi dan Prima dengan sendirinya mengatur situasi senatural mungkin, sehingga tampak tidak terjadi apa-apa.
"Eh, tadi saya lihat di sebelah sana ada hidangan penutup. Boleh diambil, ya?" tanya Bagas pada Vidi.
Vidi pun lalu berdiri. "Oh, boleh. Biar saya yang..."
"Saya yang ambil. Tunggu sebentar," ucap Prima seketika beranjak dari kursinya dan berjalan menuju arah yang ditunjuk Bagas, padahal ia sendiri tidak tahu yang mana hidangan penutup yang Bagas maksudkan. Yang ia lakukan hanya mengikuti kehendaknya untuk dapat menghindari rasa sedih. Ia ingin menjauh sejenak dari tempat itu.
Niat awal ingin mengambil hidangan penutup, justru diurungkan. Prima melangkahkan kakinya menuju beranda. Dari dinding kaca, tampak gemerlap malam, jalan raya yang penuh lalu lalang kendaraan, cahaya-cahaya lampu, dan bintang berkedip di langit yang seharusnya mampu membuatnya takjub. Namun, semua kalah dengan satu hal, yakni patah hati.
Bagas yang menunggu tibanya hidangan penutup merasa heran karena Prima tidak juga muncul. Akhirnya, ia berinisiatif menyusul Prima. Bagas pun menemui Prima yang sedang berdiri menatap dinding kaca di hadapannya. Bagas lalu menghampirinya.
"Prim, ya elah, gue nungguin makanannya dari tadi. Lo malah melamun di sini."
Prima hanya tersenyum memandang Bagas yang berdiri di sampingnya. Bagas seketika takjub saat melihat pemandangan di depannya melalui kaca itu, "Masya Allah. Keren banget. Dari sini kelihatan semua," Bagas tampak menggeleng-geleng. Ia lalu mengajak Prima untuk kembali, "kayaknya orang mau pada pulang, tuh. Yuk, balik."
"Sori gue sampai lupa mau ambil makanan lo."
"Udah, santai aja. Kita ambil sekarang."
👫
Acara makan malam selesai. Selanjutnya Prima dan Bagas kembali ke penginapan. Usai menyikat gigi, berwudu dan salat Witir, Bagas segera menuju ke tempat tidur apalagi ia sudah merasa mengantuk. Sedangkan Prima saat itu masih mandi.
"Tumben lo mandi malam-malam?" tanya Bagas saat Prima keluar dari kamar mandi.
"Iya, lagi pengen aja, sih."
Bagas sama sekali tidak menyadari adanya perubahan sikap dari Prima. Padahal sejak tadi, Prima menjadi lebih banyak diam. Setelah mengenakan pakaiannya, Prima memilih duduk di kursi, menghadap ke jendela dengan memandangi rumah Vidi. Ia memainkan ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain membuat lock dan unlock screen ponselnya sendiri, berulang kali. Ia mendadak seperti orang yang kebingungan. Ia lalu memanggil Bagas.
Bagas yang berbaring dan sudah menutup wajahnya dengan selimut kembali membukanya. "Apa?"
"Gue mau pulang."
Mendengar itu, Bagas terduduk. "Hah? Pulang?"
"Gue mau pulang besok," jawab Prima. Pandangannya masih tidak terlepas dari rumah Vidi di seberang sana.
"Besok? Tapi kan misi lo belum selesai."
"Apa lagi? Kita udah ketemu Vidi. Udah, dong?"
Bagas berdiri, beranjak menuju kursi di dekat Prima kemudian duduk di sana. Bagas kembali berkata, "Prim, bukannya lo yakin kalau Vidi itu jodoh yang harus lo cari? Harusnya lo selesaikan."
"Ya, gue tetap harus pulang. Lagian kita udah seminggu di sini, sesuai rencana awal, kan?"
Bagas menggeleng. Ia masih bersikukuh pada pendapatnya, "Nggak, maksud gue, lo harusnya ngomong dulu sama Vidi. Lo bilang, kalau lo mau nikah sama dia, gitu. Lo sayang kan, sama dia?"
Mendengar pertanyaan Bagas, Prima merasa hatinya kian patah. Ingatannya mulai kembali pada Vidi, di saat perempuan itu mengungkapkan rahasia yang harus ia jaga. "Iya, gue sayang sama dia, tapi..."
"Tapi apa?"
Prima menghela napasnya. Ia memilih tidak membeberkan semuanya. "Dia bilang sama gue, kalau dia udah suka sama orang lain, Gas."
Betapa terkejutnya Bagas. Ia tidak menyangka akan mendengar hal itu. "Jadi lo udah 'nembak' dia?"
Prima hanya mengangguk, padahal tidak demikian. Ia pun tidak ingin menceritakan hal itu lagi. Bagas tampak menghela napas. Ia bergerak mengambil ponselnya di meja, lalu kembali duduk menghadap Prima. "Lo yakin mau pulang besok?"
"Iya, lagian kasihan Mami gue, udah gue tinggalin lama."
Bagas mengangguk. Prima adalah sosok yang sangat sayang pada maminya. Tangan Bagas lalu mengusap bahu Prima dengan pelan. "Maaf ya, Prim. Gue nggak bisa bantu lebih banyak."
"Santai aja, Gas. Gue senang bisa dapat kesempatan liburan kayak gini," ucapnya seakan menyemangati diri.
"Tenang, Prim. Jodoh lo bakalan tiba di waktu yang tidak disangka-sangka," ucap Bagas mencoba menghibur. Prima mengangguk sambil tersenyum.
"Ya udah. Gue pesan tiket dulu buat besok," ujar Bagas sambil membuka aplikasi travel lewat ponselnya.
👫
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Ficção AdolescenteHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...