"Kita ke Museum dulu, ya?" ucap Prima. Di hari keempat pada pagi itu, Prima berada di dalam taxi bersama Pak Adhikara dan Vidi.
"Oke. Kok Bagas nggak ikut?" tanya Vidi.
"I-itu," Prima mulai berpikir. Sebenarnya Prima telah mengajak Bagas, tetapi Bagas menolak dengan alasan agar Prima bisa lebih akrab dengan Vidi. Prima pun akhirnya hanya menjawab, "hm, Bagas tadi katanya pusing, makanya dia mau istirahat."
"Oh, kasihan Bagas," jawab Vidi sambil mengangguk.
Mereka pun tiba di The National Museum. Vidi mengajak Prima mengambil spot foto terbaik di depan gedung museum itu. Tampak gedungnya yang berwarna oren muda, sejumlah bendera warna-warni berjejer rapi, begitu pula tanaman hijau yang tumbuh di sepanjang pagarnya.
"Kamu tahu, Prim? National Museum New Delhi ini didirikan tahun 1949. Ada sekitar 200.000 karya seni di dalamnya yang asalnya dari India dan negara asing. Usianya bahkan ada yang lebih dari 5.000 tahun. Keren, kan?"
Prima tersenyum mendengar penjelasan Vidi. Selain cantik, perempuan di depannya ini sangat cerdas. Bahkan menjadi tour guide sekalipun, dia bisa, batin Prima. Prima dengan percaya diri lalu berkata, "Di dalam museum itu, ada banyak patung. Contohnya ada kepala patung Buddha, patung Siwa, patung kayu Garuda, dan juga patung Balakrishna."
Vidi tampak takjub mendengar ungkapan Prima, "Wow, semuanya tepat. Kamu bisa juga," pujinya.
Prima merasa hidungnya kembang-kempis. Padahal sangat susah baginya menghapal sesuatu yang belum pernah ia ketahui. Demi terlihat sempurna di depan Vidi, Prima akan berusaha. Ia pun mengaku, "Iya. Soalnya tadi pas di jalan aku ngapalin dulu lewat Wikipedia."
Mendengar itu Vidi seketika tertawa, "Ya ampun, Prima. Begini saja, nanti saya akan berikan kamu buku tentang New Delhi, jadi kamu bisa baca kapan saja."
"Gratis, kan?" canda Prima.
"Haan, Prima." (iya, Prima).
Prima tersenyum. "Terima kasih. Berarti boleh bukunya nanti aku bawa pulang ke Indonesia?"
"Tentu saja. Jadi kalau kamu kangen New Delhi, kamu bisa baca buku itu," ujarnya.
Vidi dengan kemahirannya mulai mengambil gambar dengan kamera DSLR pribadinya. Ia mengambil foto gedung museum dari berbagai angle. Prima yang membawa kamera milik Bagas juga mengambil beberapa foto. Diam-diam, Prima juga memotret Vidi yang tengah sibuk memotret gedung museum.
"Coba lihat ini, bagus tidak?" tanya Vidi tiba-tiba sambil menunjukkan hasil potretnya. Membuat Prima sedikit terkejut.
"Wah, wah, bagus. Ayo foto lagi gedungnya," ajak Prima begitu semangat. Prima sebetulnya sangat ingin bicara dengan Vidi. Banyak hal yang ingin ia tanyakan. Setidaknya ia ingin mengenali Vidi lebih jauh, bukannya sibuk dengan fotografi itu.
👫
Usai dari National Museum, mereka menuju Masjid Jama yang merupakan masjid tertua di New Delhi. Sembari mengambil foto, Vidi menjelaskan pada Prima, "Masjid ini sudah ada sejak tahun 1656."
"Masya Allah. Jadi sekarang usia masjidnya sudah..." Prima lalu menggerakkan jemarinya untuk menghitung, "lebih 300 tahun?"
"Iya, ini masjid tertua di sini, Prima. Orang yang membangun masjid ini adalah Kaisar Mughal Shah Jahan. Dia juga yang mendirikan Taj Mahal."
Prima menggeleng-geleng takjub. Mereka lalu kembali memotret melalui kamera masing-masing. Sesekali Prima bertanya pada Vidi.
"Vidi. Boleh saya tanya?"
"Kya?" (apa?)
"Kita kan, baru kenal sebentar, tapi kenapa kamu mau bantu saya?"
Vidi menghentikan potretannya. Ia turunkan kameranya perlahan sembari menjawab, "Karena Allah suka dengan hamba-Nya yang senang membantu orang lain. Benar, kan?" ujar Vidi, lalu kembali mengangkat kameranya untuk melanjutkan potretannya.
Prima tersenyum mendengar jawaban Vidi. Dalam hatinya justru merasa bersalah karena harus berbohong dengan tugas fotografi itu. "Vidi, maafkan saya," ucapnya tiba-tiba. Vidi yang mendengar itu terdiam sekaligus heran.
"Kya ho ra hai?" (ada apa?)
Prima tertawa kecil. "Vidi, jangan pakai bahasa India. Saya nggak ngerti."
"Sorry. Kamu kenapa tadi minta maaf?"
"Karena saya sebenarnya..." Prima ingin sekali mengaku bahwa ia telah berbohong, sebagaimana janjinya pada Bagas. Namun, Prima justru berkata, "maaf karena saya sudah merepotkan kamu dengan fotografi ini."
Vidi tersenyum. "Achchha. It's okay, Prima. Kamu aneh," ledeknya. Prima tersenyum. Saat itu, Prima merasa dirinya mulai benar-benar jatuh hati pada Vidi.
"Mau minum kopi?" tawar Prima pada Vidi saat melihat ada kedai kopi di seberang mereka.
"Boleh. Saya panggilkan Pak Adhikara dulu, ya."
👫
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Novela JuvenilHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...