44 ✈ Amarah

172 11 0
                                    

Tiba di kedai kopi, ketiganya lalu memesan kopi dan makanan ringan. Sambil menikmati hidangan itu, mereka kembali mengamati hasil potretan pada kamera mereka.

"It's the good one," ucap Pak Adhikara sambil menunjuk salah satu foto, lalu mengangkat jempolnya.

"Good? Kalau saya lebih suka yang ini," ucap Prima sambil menunjuk foto yang lain.

Vidi lalu meminta untuk bertukar kamera. Ia pun ingin melihat hasil jepretan Prima. "Prim, boleh tukar kamera?"

Saat bertukar kamera, Vidi pun melihat foto-foto yang telah dipotret oleh Prima. Ia melihat foto itu satu per satu. Vidi merasa Prima juga mampu dalam bidang fotografi, sebab hasil fotonya tampak sangat baik. Namun, sesaat Vidi terheran, sebab potretan yang diambil Prima justru lebih banyak foto dirinya dibanding foto objek yang sudah mereka kunjungi. Dengan tegas, Vidi lalu meletakkan kamera itu di atas meja, hingga membuat Prima dan Pak Adhikara terkejut.

"Vidi kenapa?" raut wajah Prima tampak panik, apalagi melihat Vidi yang tampak ingin marah.

"Sampaikan pada saya," tegas Vidi, matanya menatap tajam, "apa benar ini semua tugas kantormu?"

"I-iya, iya benar. Ada apa?"

"Lalu kenapa banyak foto saya di sini?"

Prima diam, ia lupa dengan hal itu. Harusnya ia tidak menukarkan kameranya. "Saya bisa jelaskan, Vidi."

"Kamu bohong," ucap Vidi. Jarinya menunjuk Prima, "pasti kamu bohong. Don't harass me!" (jangan melecehkan saya!).

"Tapi Vidi, saya..."

Vidi lalu bangkit dari duduknya. "Saya pulang sekarang," dengan segera ia melangkah menuju pintu keluar. Akibat keributan itu, orang-orang yang ada di dalam kedai ikut menyaksikan.

"Ah," Prima mengacak rambutnya lalu ikut berlari mengejar Vidi. Prima menghampiri Vidi yang berdiri di tepi jalan, menunggu taxi yang lewat.

"Biar kami mengantarmu pulang, ya?" tawar Prima. Ia masih tampak panik dengan kejadian itu.

"Nahin. Tidak usah," jawab Vidi ketus tanpa memandang Prima. Tangan Vidi melambai saat melihat sebuah taxi yang lewat, "taxi!"

Melihat Vidi yang bersegera memasuki taxi itu, membuat Prima tak sempat lagi menahannya untuk pergi. Taxi itu pun perlahan menjauh. Tinggallah Prima yang tampak sangat menyesal.

Prima melangkah kembali menuju kedai kopi. Di depan pintu, Pak Adhikara juga tampak panik atas hal tadi, "What happen?" tanyanya.

Prima tidak menjawab. Ia hanya menggeleng lemas.

"Tumane use krodhit kar diya hoga. Mool purush," gerutu Adhikara. (kamu pasti sudah membuat dia marah. Dasar laki-laki.)

👫

Prima kembali ke penginapan. Saat masuk ke kamar, terlihat Bagas yang baru selesai salat Duha. Bagas seketika terheran melihat Prima yang tampak begitu murung.

"Eh, lo kenapa? Kok cepat pulangnya?" tanya Bagas sambil melipat sajadahnya.

Prima yang tidak sanggup menjawab hanya terduduk di lantai. Ia mengusap wajahnya.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Bagas lagi.

"Gue kena marah Vidi," jawab Prima menunduk. Ia lalu menatap Bagas. "Vidi marah sama gue, Gas."

"Hah?" Bagas hanya membulatkan mulutnya. Ia masih tidak mengerti.

"Dia tahu gue bohong soal fotografi itu. Terus dia marah."

"What?! Bukannya lo udah harus jujur dari tadi? Dari awal lo tadi berangkat sama dia? Ya ampun, Prim. Apa gue bilang? Makanya lo jelasin kalau lo memang mau kenalan, bukannya pura-pura tugas kantor segala, ah."

Prima pasrah mendapati omelan Bagas. Dirinya menunduk, menyesal. "Gue nggak berani ngomong itu, Gas. Jujur gue sendiri udah naksir sama dia sejak awal. Kalau dia nolak gue gimana?"

Bagas menghela napasnya. Dengan istighfar dan ta'awuz ia mencoba mengatur kesabarannya agar dapat terhindar dari amarah yang justru akan memperkeruh suasana. "Astaghfirullah. A'uzubillahiminassyaithonirrojim."

"Bantuin gue, Gas," ucap Prima memohon.

"Oke. Sekarang lo tenang. Mendingan lo salat Duha dulu. Buruan."

Mendengar pesan Bagas, Prima pun menuruti itu. Usai salat Duha, Bagas menyarankan Prima agar pergi menuju kantor Vidi guna meminta maaf. Namun, Prima tidak ingin sendiri, ia memaksa Bagas untuk ikut bersamanya. Mau tidak mau, Bagas pun ikut. Bersama Pak Adhikara, mereka pun tiba di kantor Vidi. Ruang tamu menjadi tempat mereka menunggu.

Kemudian masuk salah seorang staf yang menyampaikan pesan pada mereka, "Maaf, Nona Vidiva sedang sibuk. Beliau tidak ingin ditemui sekarang. Sekali lagi maaf, ya."

Demikianlah ketiganya lalu kembali menuju ke penginapan. Di jalan, Prima terus saja menyampaikan penyesalannya, "Ini salah gue, Gas,"

"Udah. Ntar malam kita ke rumah dia aja. Dia pasti mau maafin lo," balas Bagas.

👫

TRAVELPRIM [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang