Dalam perjalanan menuju Pandara Road dengan taxi milik Pak Adhikara, mereka terus berbincang. Prima dan Bagas duduk di tempat biasa, sedangkan Vidi duduk di depan. Vidi terus bercerita mengenai hidupnya.
"Saya ini sebenarnya lulusan psikologi, tapi justru bekerja di penerbitan," ungkapnya dengan bahasa India.
"Kyu?" tanya Bagas. (Kenapa?)
"Karena saya senang dunia buku, saya senang menulis, membaca, semuanya. Saya kuliah psikologi atas kemauan Ibu saya," ucap Vidi sesekali menghadap ke belakang, "saat saya minta untuk bisa bekerja di penerbitan, alhamdulillah Ibu saya setuju, terutama Ayah."
"Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Prima ingin tahu.
Bagas mulai meledek, "Udah, diem aja lo. Urusan orang dewasa."
Prima mendecak sebal. Ia bertanya pada Vidi, "Vidi, boleh saya tanya?"
"Iya? Mau tanya apa?"
"Umur kamu berapa?"
Vidi menghadap ke belakang seraya tersenyum. "Umur saya 26. Kenapa? Apa kalian seumuran dengan saya?"
Prima mengangguk, rasa penasarannya satu per satu mulai terjawab. "Iya, hanya beda sedikit saja. Saya dan Bagas 28," ujar Prima.
Pak Adhikara bertanya dengan bahasa India. "Nona, apakah nona sudah menikah?"
Vidi tersenyum lalu menggeleng. "Nahin. Saya belum menikah."
"Kenapa Nona belum menikah?" tanyanya lagi.
"Hm, masih belum menemukan yang cocok," jawabnya. Mendengar itu Bagas tersenyum, sedang Prima kembali kebingungan tentang apa yang mereka bahas.
Taxi melesat pelan memasuki jalan Pandara Road. Perumahan dan pertokoan tampak di sepanjang jalan.
"Rumah Nona di mana?" tanya Pak Adhikara.
"Tidak jauh lagi. Di depan sana," tunjuk Vidi.
Bagas mulai celingak-celinguk, kawasan ini mulai dekat dengan lokasi penginapan mereka.
"Ah, itu dia, Pak. Sudah sampai."
"Loh, ini kan?!" ucap Prima dan Bagas merasa terkejut. Di depan mereka tampak rumah megah yang pernah mereka bahas tempo hari. Pak Adhikara pun terkejut, sebab pemilik rumah besar itu ada Vidi.
"J-jadi Nona adalah anak Mr. Khan?" tanya Pak Adhikara gugup, "maaf bila saya kurang sopan sejak bertemu anda, Nona."
"Pak, tidak apa-apa. Saya tidak mau diperlakukan berlebihan. Bapak sangat baik pada saya," ucap Vidi lalu melepas seatbelt, begitu pun disusul ketiga orang lainnya. Mereka pun turun dari taxi.
Prima berkata pada Vidi, "Vidi, itu penginapan kami," seraya menunjuk penginapannya yang berwarna merah muda.
"Benarkah? Ternyata tempat tinggal kita dekat sekali, ya," raut wajah Vidi juga begitu kaget, terutama Prima dan Bagas yang tentu saja tidak menyangka akan semudah itu. Penginapan mereka tepat berada di depan rumah Vidi, hanya berbatas jalan.
"Terima kasih banyak karena sudah mengantarkan saya pulang," ucap Vidi pada Pak Adhikara. Vidi lalu memandang kedua teman barunya, "terima kasih, ya. Saya tidak menyangka sekarang kita bertetangga."
"Ternyata semudah ini," ucap Bagas seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Jadi kita berpisah di sini?" tanya Prima.
"Kalian mau mampir ke rumah saya? Ayolah, sebagai ucapan terima kasih saya," ajak Vidi dengan berbahasa India.
Bagas dan Pak Adhikara merasa segan, cukup malu rasanya orang seperti mereka bisa datang ke rumah pejabat yang sangat mewah itu.
"Apakah boleh, Nona?" tanya Pak Adhikara dengan gelengan kepalanya.
"Tentu saja boleh, Pak. Ayo."
Prima berbisik pada Bagas, "Vidi bilang apa, sih?"
"Dia nyuruh kita mampir ke rumahnya."
"Wah, oke. Kalau gitu ayo kita ke sana!" ucap Prima begitu antusias. Vidi tertawa melihatnya.
Bagas mencubit lengan Prima sambil berbisik, "Lo yang sopan dikit, dong!" Prima tidak menggubris itu. Ia hanya tersenyum-senyum menahan sakit karena cubitan itu.
Mereka berempat lalu berjalan masuk pada halaman rumah Vidi. Tampak begitu luas halaman rumah tersebut. Rumahnya juga sangat besar.
👫
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELPRIM [TAMAT]
Teen FictionHighest rank 🏆 #1 novelhumor (11/1/2021) "Gue mau ajak lo pergi ke India!" ujar Prima pada sepupunya, Bagas. "Serius? Alhamdulillah, ya Allah. Nggak sia-sia gue lulus dari akademi bahasa asing, akhirnya bisa juga ke negeri nehi-nehi," ucap Bagas. P...