Bab 31

4.4K 336 29
                                    

Hiatusnya di tunda dulu ya, malmingan dulu sama cerita ini kan enak, mungkin.

Ghania tersentak kaget saat tubuhnya terguncang. Entah siapa yang melakukannya, yang jelas hal itu membuat Ghania tersadar dari lamunannya.

"Nah, kan. Akhirnya, melamun ya?" Pertanyaan itu, sontak membuat Ghania menengok kepalanya ke samping, dimana pertama kali wajah ayu ibunya diumurnya yang tak lagi muda.. menjadi penyambutnya.

Mata Ghania mengerjap, berusaha mengembalikan fokusnya. Tersenyum kikuk Ghania menggaruk pipinya yang tidak gatal, "Hehe bu, maaf."

Ibu Ghania menggelengkan kepalanya maklum, beliau mengusap pucuk rambut putrinya, "Tidak apa-apa. Ayo turun kita sudah sampai," titah ibunya, kemudian beliau menyingkir dari pintu mobil karena memang setengah badannya tadi masuk ke dalam.

Mata Ghania mengedar keseliling, benar. Mobil ibunya telah berhenti---jadi memang sedari tadi mereka telah sampai tujuan. Ghania memukul kepalanya lumayan keras, dasar. Gara-gara melamun fokusnya jadi ke mana-mana.

Ghania turun dari mobil, gadis itu berjalan mengekori ibunya yang sudah duluan melangkah didepan sana. Sepertinya ibunya sangat bersemangat untuk segera bertemu ayahnya, gadis itu terkikik sendiri. Semoga saja pertemuan dengan ayahnya ini bisa berimbas pada hubungan keduanya---orang tuanya, Ghania tidak munafik. Gadis itu ingin ke dua orang tuanya kembali bersatu menjalin hubungan, membangun kembali keluarga harmonis seperti 8 tahun silam. Semoga saja harapannya kali ini bisa terkabulkan.

Sejak pertama kali menapaki restoran ini, mata Ghania tidak hentinya menatap kagum sekitar. Fokus pada lampu-lampu gantung yang ada di langit atap. Ghania sangat menyukainya, apa lagi ditambah banyaknya lukisan-lukisan 3 dimensi yang tergambar sempuran disetiap dinding restoran disini. Sangat bagus, menurut Ghania tempat ini sangat cocok untuk dikunjungi kaum muda-mudi sepertinya.

Kening Ghania kembali mengernyit, selera ayahnya telah berubah kah? Ghania faham betul kalau ayanya lebih suka tempat yang identik dengan kesan kunonya. Ghania mengedikan kedua bahunya, ah terserah yang terpenting dia bisa cepat-cepat bertemu ayahnya kembali.

Sangking asiknya menatap sekitar Ghania sampai tak sadar kalau langkah ibunya terhenti, hal itu otomatis membuat tubuh Ghania menabrak tubuh ibunya yang berada di depannya, "Astaga!" Ibunya memekik kaget, Ghania ling-lung. Gadis itu menatap polos ibunya, "Ya?"

Ghania ini, entah apa yang terjadi pada anak gadisnya hari ini. Dia suka sekali melamun. "Jalan beriringan Ghania, jangan dibelakang ibu. Kemari," suruh ibunya, gadis itu menurut berpindah ke samping ibunya.

Gadis itu dituntun ibunya terus menuju lebih dalam restoran sini. Bahkan mereka berdua sampai melewati lorong terlebih dahulu, lorong yang peneranganya sangat minim. Berbeda dengan ruangan yang pertama kali Ghania injak. Disana pencahayaannya lebih terang.

Lumayan lama Ghania dan ibunya berjalan melewatinya, sampai akhirnya ibunya berhenti melangkah. Lagi, Ghania terpengah. Ternyata, walaupun disini remang-remang. Kesan bagusnya masih tetap ada, pencahayaan disini dibantu dengan penerangan seperti neon.. Ghania berdecak kagum, entah dirinya yang katro baru mengetahui tempat semacam ini. Yah kan, memang gadis itu sering kali dilarang ibunya untuk keluar rumah.

"Carikan nomor 56, sayang. Katanya ayahmu duduk dibangku nomor itu," ucap ibunya kemudian, Ghania mengangguk. Tidak perlu membutuhkan waktu lama, matanya menangkap nomor itu di pojokan sana. Ghania menepuk lengan ibunya, tangannya menunjuk ke arah sana. "Itu bu, eh sepertinya ayah memang sudah datang," kata Ghania, di pojokan sudah ada seseorang yang duduk disana, tidak jelas siapa karena tubuh orang yang mengenakan jas itu,  membelakangi posisi Ghania dan ibunya berada.

Ibu Ghania mengangguk, "Bukan sepertinya lagi, itu memang ayahmu."

*****

Tattoes? No problem Or Problem?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang