Bab 5

8.3K 648 16
                                    

Berkali-kali Azri mengecek jam tangan yang ia kenakan. Seharusnya sudah dari 15 menit yang lalu Ghania pulang, bahkan para murid di sekolahan ini pun sudah pada keluar. Apa yang terjadi? Sial! Dia benar-benar merasa khawatir sekarang.

Kalau saja bukan karena peraturan ketat sekolahan ini yang tidak memperbolehkan orang lain seenaknya masuk ke dalam, sudah pasti Azri mencari sendiri keberadaan gadis-nya.

"Permisi." Azri memberhentikan seorang gadis yang tidak sengaja melewatinya. Bagus sekali, dia mengenal gadis ini sebagai teman sekelas Ghania.

Gadis didepannya memandang takut-takut Azri. Siapa yang tidak takut dengan laki-laki bertato dan bertampang sangar seperti laki-laki ini. Mobil boleh mewah, penampilan boleh keren. Tetapi bagaiman kalau itu cuman kedok, bisa saja dia penculik kan. Gadis itu hanya belum tahu yang sebenarnya saja.

Azri tersenyum maklum, "Tidak apa-apa, jangan takut saya hanya ingin bertanya. Kamu kenal Ghania, maksud saya Fadwah Ghania. Dia teman sekelasmu kan? Saya tahu karena pernah melihatmu bersamanya waktu itu."

Mendengarnya menyebut nama sahabatnya Suha langsung penasaran, siapa dia bisa kenal dengan Ghania.

"Anda siapa, kenapa bisa mengenal Ghania? Ya saya sekelas dengannya dan sekaligus sahabat Ghania," jawab Suha sekenaanya tapi belum berani mengatakan keberadaan sahabatnya. Bisa saja kan dia mau berniat jahat terhadap Ghania. Fisiknya yang penuh dengan coretan tinta membuktikan segalanya.

Tidak heran gadis didepannya ini tak mengenalinya. Mereka berdua sengaja menutupi hubungan ini, sebenarnya Ghania yang memaksa. Hah sudahlah tidak penting. Yang penting saat ini dimana gadis itu berada sampai tidak muncul-muncul juga.

"Saya pacar Ghania, tidak bohong dan dimana Ghania saat ini? Saya benar-benar khawatir."

Sampai rasa-rasanya ingin gila, batin laki-laki itu.

Suha tentu saja terkejut, laki-laki sangar dan bertato ini mengaku-aku menjadi pacar Ghania. Yang benar saja. Tetapi wajah-nya yang terlihat frustasi dan kentara sangat khawatir membuatnya sedikit iba.

Berdehem Suha menjawab, "Ghania sudah pulang sedari tadi. Kakinya terkilir sewaktu ingin mengambil buku di perpus, tapi syukurlah sudah ada seseorang yang membantunya dan mau membawa Ghania pulang ke rumah," tutur Suha menjelaskan.

Mendengar itu Azri mengepalkan tangannya marah. Emosinya berada diubun-ubun saat ini. Ghania terkilir! Gadis itu terluka. Buru-buru Azri memasuki mobilnya--- sebelumnya sempat mengucapkan terima kasih terhadap sahabat Ghanianya.

Mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh bak orang kesetanan. Azri tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Yang ia pikirkan adalah gadis-nya, Ghanianya pasti sekarang ini sedang kesakitan. Sial!

*****

Di rumahnya Ghania merintih sakit memegangi kaki kirinya yang tidak lagi seputih tadi. Ada luka lebam menghiasinya disana, lumayan besar. Ghania tidak bohong rasanya benar-benar membuatnya ingin menangis. Kalau saja dia tidak memiliki malu sih sudah sedari tadi dia melakukan itu.

Dia sedang ketiban sial saja. Sewaktu ingin mengambil buku untuk materi Ujian... ternyata letaknya berada di rak paling atas. Mau tidak mau membuat Ghania jinjit-jinjit, tidak terpikir saat itu ada kursi, yang Ghania mau bukunya cepat ada di tangannya. Tetapi naas kakinya malah terkilir, untuk saja rak bukunya tidak sampai jatuh menindihinya, ada seseorang yang menahannya.

"Bagaimana? Masih sakit? Aku telefon dokter aja ya."

Ghania menahan lengan laki-laki disebelahnya yang hendak menelfon pihak rumah sakit. Dia menggeleng pelan, "Tidak perlu, aku ngga papa kok. Makasih udah mau bantu aku ya."

Laki-laki dengan perawakan serta wajahnya yang mirip bak Cole Sprouse, menatap khawatir gadis manis di depannya. Benar manis kok. Dia mengangguk kemudian menatap lengannya yang masih dipegang gadis itu.

Tersadar akan hal itu Ghania menarik tangannya kembali. "Ah maaf," ucapnya tidak enak.

Tersenyum teduh lagi-lagi dia menggeleng tidak apa-apa.

Singgih berdiri dari duduknya, menjauhi ranjang Ghania. Rasanya tidak enak berada satu kamar dengan gadis yang baru ditolong ini, sebenarnya mereka satu kelas. Hanya saja dia kurang berinteraksi. Jadilah dia dianggap antara ada dan tiada di kelas.

Susah payah Ghania bersandar di kepala ranjang, "Kamu Singgih 'kan, kita satu kelas loh." Bukannya sok kenal, Ghania memang paham laki-laki ini. Laki-laki yang seringkali dijuluki manusia sombong karena kurang berkomunikasi dengan teman satu kelasnya.

Berdehem Singgih mengangguk. Ghania ber-oh ria saja, Singgih ini kaku sekali orang-nya. Susah juga kalau diajak bicara. Bukan karena gagu.

Suasana kamar ini begitu sepi, sebenarnya karena canggung. Sekali lagi Singgih melihat kaki gadis di sebelahnya yang sepertinya sudah tidak apa-apa. Sudah dikompres juga olehnya.

Dia melirik jam tangan yang laki-laki itu kenakan, sudah hampir sore dia harus pulang. "Yasudah aku pu-- awas!" Secepat kilat laki-laki itu menopang tubuh Ghania yang hendak jatuh.

Ghania terkejut saat dirinya sudah dipeluk Singgih. Dia hanya ingin berdiri membuatkan penolongnya minum, siapa lagi? Ibunya keluar entah kemana. Tetapi malah hampir jatuh lagi, untuk tidak sampai terjadi malah sekarang posisi mereka membuat Ghania malu. Singgih menindihinya.

"Ghania, Ghania!"

Deg!

Azri berhenti berteriak kala didepan pintu laki-laki itu di suguhkan pemandangan tidak mengenakan di depan matanya sendiri. Kurang ajar!

"Apa yang kalian lakukan!" Secepat kilat Azri melangkah memasuki kamar dan menarik Ghania dari rengkuhan laki-laki kurang ajar ini. Berani sekali dia menyentuh gadisnya.

Sekali lagi Ghania terkejut, kedatangan Azri tiba-tiba dengan posisi memalukan seperti tadi membuatnya takut terjadi kesalah pahaman.

"Azri tadi itu--"

"Diam!" Tidak sadar Azri membentak. Cemburu membuatnya buta akan amarah. Dia tidak suka, sangat tidak suka Ghanianya, gadisnya, milik-mnya disentuh orang lain!

Dengan mata menajam Azri menunjuk laki-laki kurang ajar di depannya, "Kamu jika ingin terus hidup keluar dari kamar pacar saya, keluar!"

Mengangkat kedua tangannya ke atas bak maling ketahuan polisi Singgih melangkah mundur keluar dari kamar Ghania. Dia tidak ingin terkena masalah apa-apa. Laki-laki bertato itu kelihatan berbahaya.

Kini matanya beralih menatap gadis di pelukannya, sedikit melembut tidak setajam tadi. "Aku kecewa sayang, kecewa. Kenapa kamu tidak mengabariku saja untuk menolongmu hm? Jangan bilang tidak sempat karena aku ada 24 jam untuk kamu. Aku pasti akan membawamu ke rumah sakit kalau tahu terkilir begini," ucapnya sedih sambil mengusap pipi Ghania lembut.

-Done revisi-

Gantung kuy, ide stop sampe situ. Sumpah buat ini fresh terus, kalo kepikiran mau dibuat gimana ya langsung di ketik. Kalo ngga ya udah bobo:'v

Tattoes? No problem Or Problem?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang