Bab 25

4.6K 334 11
                                    

"Itu kamu seriusan! Ih kenapa ngga besok aja? Kita kan belum sempet ngerayain. Udah gitu ngga ada acara coret-coret baju atau apa lah, buat kenangan suatu saat nanti, gitu," kata Suha panjang lebar di balik sana, tangannya membentang, membayangkan entah ingin seperti apa masa depannya dengan menyangkut pautkan 'coret-coret baju'.

Ghania mengedikkan bahunya, tangannya masih aktif memasukan beberapa helai baju ke dalam koper yang lumayan besar. Sebenarnya ini koper ke dua, setelah yang satunya sudah terisi barang-barang privasinya.

"Ghania! Serius ini loh, liat aku dulu kenapa sih. Aku masih ngga nyangka loh kamu mau pergi dari negara kita tercinta ini. Hiks," rajuk Suha. Keduanya sedang melakukan vidio call.

Akhirnya mau tidak mau, Ghania menghentikan aktfitas sibuknya itu demi sahabat toanya. Serius toa, suaranya yang besar dan melengking itu membuat ponselnya berdengung, kadang terputus-putus. Sebenarnya masalah utamanya ada pada koneksi internetnya. Tidak setabil.

Ghania memposisikan tubuhnya, menghadap penuh ke ponselnya, dengan jahilnya Ghania mendekatkan wajahnya pada kamera ponsel. Jadi wajah bulat serta pipi tembemnya itu terlihat jelas hingga memenuhi layar.

Suha bahkan harus memundurkan tubuhnya, sangking tidak kuatnya melihat wajah sahabatnya yang melebihi kapasitas. Lebay!

"Munduran dikit, elah. Mukamu nih Ghania, penuhin layar haha," tawanya, Ghania jadi tertular. Keduanya tertawa, tepatnya mentertawakan ke anehan Ghania. Gadis itu bahkan geli sendiri terhadap wajahnya, sudah seperti boneka saja. Eh, mungkin tepatnya seperti bakpao.

Lantas Ghania memundurkan wajahnya, "Iya serius, aku mau kuliah di tempat ayah. Yah itung-itung tinggal sambil mengurus ayah di sana. Kan kasihan, sudah beberapa tahun beliau tidak bertemu denganku. Sangking sibuknya mungkin," jawabnya, tawanya tadi hilang entah kemana. Jika sudah membahas tentang ayahnya, Ghania suka mellow.

Suha menunduk, dia tahu bagaimana perasaan Ghania. Gadis itu memang sudah sangat lama tidak bertemu ayahnya, semenjak perceraiian dengan ibu Ghania. Dulu sewaktu Ghania duduk di bangku sekolah dasar kelas 6, orang tua Ghania memilih berpisah dan hak asuh anak di dapatkan oleh ibu Ghania. Semenjak itu, Ghania tidak bertemu lagi dengan ayahnya, tepatnya ibu Ghania yang melarang mantan suaminya bertemu dengan Ghania. Kenapa Suha bisa tahu? Ibu Ghania sendiri yang menceritakannya. Dan mendapat kabar bahwa Ghania di perbolehkan kuliah bahkan tinggal satu rumah dengan ayahnya, membuat Suha terkejut.

"Jadi?" kata Ghania kemudian, setelah keduanya saling diam. Ghania heran, seharusnya Suha tidak ikut mellow seperti ini. Ghania fine saja, hanya sedikit---sedih.

Suha mengadahkan kepalanya, gadis di seberang sana menggeleng sambil tersenyum sendu. "Hati-hati ya, pokoknya kamu jangan lupain aku. Titik. Harus terus hubungin aku, setidaknya kalau kamu sibuk, kamu kabari aku dulu. Biar aku ngga salah paham dan berakhir benci sama kamu, hiks--aku.. ngga tau Ghania, hiks, kayaknya mau nangis dulu aja deh ya huwaaa!!!" tangisnya menggelegar, untung dari yang Ghania lihat, Suha berada di dalam kamarnya yang kedap suara. Jadi suara toanya tidak sampai terdengar orang serumah. Dan Ghania masih belum yakin sih.

Ghania ikut menitikan air matanya, gadis itu tidak kuasa melihat sahabatnya menangis seperti itu. Tetapi mau bagaimana? Ini sudah pilihannya, meninggalkan negaranya demi bertemu ayahnya, cita-citanya, dan demi menghilangkan bayang-bayang gilanya.

"Aku janji Suha," kata Ghania di sela-sela tangisannya. Sudah ada dua orang tercinta dan terkasihnya yang Ghania beri janji. Dan Ghania harus sanggup menepatinya.

"Oh ya, hiks... kamu-- maksudnya, tau dimana ayahmu sekarang ini tinggal?" tanya Suha sesenggukan.

Ghania mengangguk mantap, "Kanada," jawabnya kemudian

Respon Suha selanjutnya membuat Ghania otomatis menutup kedua telinganya, "WHAT!!" teriaknya histeris, ponselnya sampai terjatuh dari senderannya.

Sudahku duga, batin Ghania.

*****

Ponsel Ghania kembali berdering, kali ini bukan lagi telefon melainkan pesan wa dari orang yang sama, ibunya. Beliau mengirimkan rentetan kata sama, berulang kali membuat Ghania terkikik sendiri. Ibunya seperti tidak rela membiarkan Ghania pergi.

"Iya ibu, Ghania bakal jaga diri baik-baik disana hm. Ibu ngga usha khawatir. Udah ah ibu, ngirim pesan sama terus. Bay, i love you mom. Nanti Ghania kabari lagi kalau sudah sampai Kanada okay," ucap Ghania, gadis itu melakukan voice note, lalu dikirimkan ke ibunya. Supaya beliau mengerti, jangan anggap Ghania anak kecilnya lagi. Tetapi mungikn respon ibunya akan beda, mengingat tadi dia bilang akan mengabari ibunya jikalau sudah sampai Kanada. Ghania tertawa sendiri, sudahlah lebih baik gadis itu mematikan ponselnya. Memasukkan kembali ke dalam tas slempang kecilnya.

Saat ini Ghania berada di dalam mobil menuju bandara, gadis itu meminta kepada ibunya untuk naik taksi saja. Ghania tidak mau diantar beliau sebab, jika iya, Ghania akan gagal pergi ke Kanada. Respon ibunya di dalam bayangannya adalah menangis, menahan Ghania di dalam pelukannya. Berakhir Ghania luluh dan tidak tega. Sudah pasti begitu, Ghania tahu betul sifat ibunya yang super protektif.

Ghania menghembuskan nafasnya, matanya melihat ke luar jendela mobil. Malam semakin larut, bahkan terkesan sangat gelap. Tidak seperti malam kemarin yang masih ada cahaya dari sinar bulan. Anginnya saja tidak lagi semilir, bahkan terlalu menusuk kulit. Ghania sampai menggosok-nggosokan kedua lengannya yang terbalut hoody. Iya jelas begitu sebab Ghania kan membuka jendela mobilnya, jadi udara di luar sana merangsak masuk ke dalam mobil.

Tetapi kali ini rasanya seperti aneh, mobil yang Ghania naikki bergerak dengan lambat. Padahal sebelumnya tidak, atau Ghania saja yang tidak sabaran untuk sampai pada tujuan. Mungkin iya. Beberapa saat kemudian matanya di buat ngeri kala mobil ini hendak melewati hutan rimbun nan gelap. Yang Ghania tahu, dari rumahnya menuju bandara tidak sampai melewati hutan terlebih dahulu.

Gadis itu penasaran, lantas menepuk bahu sang supir di depannya, "Pak, sepertinya kita salah jalan. Bukannya arah menuju bandara tidak melewati hutan terlebih dahulu?" tanyanya bingung.

Sang supir menatap Ghania dari depan kaca mobil, kemudian menjawab, "Begini mbak, jalan utama menuju bandara sedang di perbaiki, tidak bohong. Saya bisa putar balik kalau mbak mau melihatnya," jawabnya ramah dan meyakinkan. Mau tidak mau membuat Ghania tidak enak, gadis itu sempat curiga tadi.

"Eh em tidak usah pak, lanjutkan saja. Maaf saya mengganggu konsentrasi berkendara bapak barusan. Maaf sekali," ujarnya kikuk. Sang supir hanya mengangguk dan tersenyum. Ghania bisa melihatnya dari kaca di depan sana.

Ghania menghembuskan napasnya, gadis itu kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi jok. Lega, itu yang gadis itu rasakan. Entah kenapa, dia berpikiran negatif barusan. Sudahlah mungkin Ghania memang sedang parno saja. Gadis itu kembali menatap jalanan di jendela mobil yang terbuka itu. Hutannya belum terlewati dan Ghania masih setia menatap kegelapan itu hingga matanya kian sayup dan berakhir mengantuk, bandara masih jauh kan. Sekitar 2 jam-an, Ghania bisa tidur terlebih dahulu.

Ghania akan terlelap, sebelum sesuatu menghantam tubuhnya dari belakang hingga terdorong ke depan dengan kerasnya.

Sakit!

Entah apa yang terjadi karena seketika itu mata Ghania tertutup sempurna, ke gelapan menyambutnya terbuka.

Tamat
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Boong cius ;v, maafkan :')

Ghania kenapa?

Btw up cepet terus kan, iya, ide ngalir derass. Besok lagi ya, bay, aku ngetiknya malem bgt sekali clup, los :v up maksudnya hahaha

Tbc

Tattoes? No problem Or Problem?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang