Bab 19

5K 374 26
                                    

Ghania mengerjap, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat. Pusing menyerangnya sekaligus, Ghania memegang kepalanya. Sungguh rasanya benar-benar sangat sakit.

Detik berikutnya, mata Ghania terbuka, sorotnya langsung tersuguhkan ruangan bernuansa putih semua. Yang Ghania tahu saat ini, dia tidak lagi berada di tempat sebelumnya. Selang infus yang ada pada tangan kanannya membuktikan atas pertanyaannya dimana sekarang dia berada, rumah sakit.

Merintih sakit, Ghania berusaha bangun dari tidurnya. Sia-sia, tubuhnya terlalu lemah hanya untuk sekedar menggerakan kedua kakinya. Bagaimana ini?

Dan pada saat kebingungan itu terjadi, pintu yang berada tepat di depan sana terbuka. Sosok yang sebelumnya tidak ingin Ghania temui bahkan pikirkan sekalipun, untuk saat ini... muncul. Itu Azri.

Sempat terkejut, Azri berusaha tersenyum teduh menatap gadisnya yang ternyata sudah bangun. Melirik jam yang ada tepat dia atas tembok, bertepatan dengan ranjang yang Ghania tiduri. Sekarang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ghania ter-bius selama itu.

Azri mendekati ranjang Ghania, dengan tempo langkah lesu. Raut mukanya antara senang, takut dan gelisah.

"Sudah bangun, ada yang sakit, sayang?" Setelah mendudukan bokong-nya di kursi yang berdekatan dengan ranjang Ghania. Azri berusaha tidak dulu menyentuh tangan kiri Ghania yang bebas dari selang infus.

Azri menatap dalam gadis di depannya yang tampak menegang. Ghania menggeleng kaku menjawab pertanyaan dari Azri.

Menghembuskan nafasnya perlahan, Azri memberanikan diri mengusap rambut lembut Ghania. Dan yang Azri rasakan saat permukaannya telapak tangannya belum seutuhnya menyentuh rambut atasnya, tubuh Ghania kian menegang. Membuatnya menarik kembali tangannya dan beralih memegang kepalanya sendiri. Azri menjambak rambutnya keras dengan kedua tangannya sekaligus.

"Sayang, ada apa denganmu? Bisakah tidak seperti ini? Mas tersiksa sayang, sangat. Mas tidak tahu... arghh!!! Ghania apa yang kamu lihat semalam!" Tanpa sadar Azri membentak.

Ghania menggeleng, tubuhnya bergetar hebat, air matanya pun tumpah kian banyak. Kejadian kemarin malam terus terulang jelas dibenaknya. Dimana ada laki-laki yang dengan tega melakukan pembunuhan di rumahnya sendiri. Lebih parahnya laki-laki itu tidak lain adalah Azri, pacarnya sendiri.

Azri kalap, jiwanya terbakar amarah yang kuat. Dia bingung, sedih, akan tetapi emosinya mengalahkan semua. Laki-laki itu bangkit, memegang kedua bahu Ghania. Mengguncangkannya kuat dengan Ghania yang masih tetap dalam posisinya, tiduran.

"Jawab sayang, jawab! Apa yang kamu lihat? Hingga menjadi seperti ini, ha! Jawab!" Teriaknya keras.

Tidak harusnya begini, bukannya bertanya dengan baik Azri malah membuat Ghania tambah takut. Jangan salahkan Azri yang sudah terlanjur takut duluan dengan kemungkinan yang ada di otaknya.

Lalu pintu kamar inap Ghania kembali terbuka, nyaris seperti dorongan paksa. Seorang dokter dan suster berusaha menghentikan apa yang saat ini Azri lakukan, "tuan! Hentikan! Anda bisa menyakiti gadis ini." Kedua orang itu berusaha menarik paksa tubuh Azri.

Dan pada saat itu lah, Azri tersadar. Laki-laki itu dengan sendiri-nya menghentikan tindakan di luar kesadarannya barusan. Apa yang dia lakukan?

Azri menatap nanar kedua tangannya sendiri, "tidak, sayang... mas tidak bermaksud....

"Pulang, rumah ibu." Ghania meluncurkan kata yang membuat seisi ruangan itu memusatkan perhatiannya padanya.

Masih dalam keadaan yang sama, kali ini Ghania bisa menatap Azri dengan mata sanyu dan tatapan memohonnya.
"Kabulkan, pulang."

Tattoes? No problem Or Problem?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang