Bab 32

4.3K 330 16
                                    

Bodoh! Satu kata tepat untuk menggambarkan betapa tidak berotaknya dia beberapa saat lalu. Melihatnya tetapi tetap membiarkannya bebas, seharusnya gadis itu langsung saja Azri bawa kembali ke dekapannya. Bila perlu mengurungnya di satu ruangan bersamanya, selama-lamanya. Harusnya!

Tetapi Azri tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama lagi, laki-laki itu tidak boleh bertindak ceroboh karena setiap gerak-geriknya, kini selalu diawasi. Jangan lupakan si tua bangka yang dari dulu hingga sekarang menjadi musuh bebuyutannya. Beliau lah yang memainkannya kini... hanya sampai beberapa waktu saja, karena cepat atau lambat Azri akan membalikan posisi. Dimana Azri yang akan memainkan papanya balik. Tentunya bermain dalam artian lain.

Urusannya dengan beliau memang belum selesai, Azri rela 2 tahun menghilang demi mencampai tujuannya, hidup dengan Ghanianya, hanya berdua tanpa ada seorang pun yang mengusiknya.

Lalu, apa yang dilakukannya di cafe itu sebenarnya untuk bertemu dengan rekan kerjanya yang memang ada di Indonesia. Sangat tidak menyangka Azri bertemu dengan Narendro. Seseorang yang pernah Azri tolong sebelumnya, well cukup besar jasanya. Karena berkat bantuannya, beliau tidak jadi jatuh miskin. Dan fakta pentingya ternyata, Narendro adalah ayah dari gadisnya.

Azri tertawa, "Haha kenapa dunia ini begitu sempit. Mungkin aku ingin menarik kata-kataku dulu yang menolak diberi imbalan. Karena imbalanku yang sebeneranya lebih berharga. Aku ingin Ghania," ucapnya mantap, kedua tangannya yang bertumpu di tralis tambah mengerat.

Jika beliau tidak memberikan Ghania padanya pun, Azri bisa merebutnya. Karena memang sejak awal, Ghania hanya miliknya.

*****

"Ghania! Dengarkan ibu dulu! Awas aja ya kalau omongan ibu barusan ngga kamu turutin! Inget ya inget, kamu pernah disakitin sama dia. Hey!"

Selimut yang menutupi seluruh tubuh Ghania tersibak, siapa lagi pelakunya kalau bukan ibunya sendiri. Beliau yang sedari tadi berbicara ini itu, semenjak pulang dari cafe. Sekarang waktu menunjukan hampir tengah malam, selama itu ibunya tak berhenti menceramahinya. Sungguh Ghania jadi jengah sendiri.

Frustasi, Ghania bangkit dari tidur meringkuknya. Sebenarnya tidak tidur, Ghania mencoba untuk menutup mata tetapi tidak bisa. Suara nan maha dashyat ibunya sungguh bisa menganggu pendengarannya. Apa lagi objek yang ibunya bicarakan ini menyangkut soal seseorang di masa lalunya yang Ghania harap-harap bisa menjadi masa kininya, lagi. Tidak masalah kan kalu Ghania masih berharap dengan laki-laki itu.

"Ibu, tolong lah kecilin suaranya. Udah malam loh, mending ibu tidur aja. Ghania cape, butuh istirahat juga. Besok Ghania kuliah loh," terang Ghania mencoba menjelaskan, tetapi usai mengatakan itu Ghania mengaduh sakit saat keningnya di sentil keras hingga rasanya begitu perih.

Pelakunya tidak lain, "Ngga usah ngeles, kamu besok libur ya. Kuliah apa di hari minggu? Dasar, pokoknya turuti apa yang Ibu bilang tadi. Ngga usah ketemu sama laki-laki minus itu lagi! Pokoknya kalau ngga sengaja lihat langsung lari aja, kalau engga telfone Ibu. Biar Ibu ajak baku hantam dia. Paham!" tutur Ibunya, telunjuk beliau menekan hidung Ghania yang minimalis.

Ghania terpengah, ada-ada saja Ibunya ini. Tidak mau membuat Ibunya terus berbicara, Ghania mengangguk saja patuh. Memang siapa yang mau bertemu dengannya, karena laki-laki itu lah yang seharusnya menemuinya. Menjelaskan semuanya, merampungkan apa yang dia mulai sejak awal.

Usapan halus dan hangat yang Ghania rasakan di atas kepalanya membuat fokusnya kembali. Di mana Ibunya kini sedang menatapnya sambil tersenyum lembut. "Bukannya ibu jahat sama Ghania, jahat karena tidak memperbolehkan Ghania bersinggungan kembali dengannya. Hanya saja, ibu, takut... kalau sampai Ghania kembali redup, memunculkan sinar di dalam diri Ghania susah loh. Ibu takut Ghania seperti itu lagi. Ghania paham kan apa yang ibu maksud," jelas beliau.

Tattoes? No problem Or Problem?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang