Prolog

13.9K 614 11
                                    

"Luka sayatan membingkai hati adalah cambuk cemburu-Nya, tapi mengapa jatuh sebelum cinta sungguh sakit rasanya?"

...

"Nadin!" Suara bariton itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang. Belum lagi jika netraku menatap ukiran senyum simpulnya yang perlahan membuat hati ini berdesir halus.

Tak berniat membalas sapaannya, aku kembali membuka lembaran itu. Mencoba menetralkan degup yang kian menjadi hingga akhirnya sosok di hadapanku mengambil alih semuanya.

"Emang gak pusing lihat rumus terus, tuh perut minta diisi," lanjutnya.

"Kak Ardan, sini gak bukunya!" Lagi-lagi pria itu selalu membuatku kesal. Namun, tak pernah sedetik pun aku membencinya. Jika marah, mungkin dalam hitungan menit akan kembali menjadi tawa. Itulah dia, pria yang kucintai dalam diam.

Tanganku mencoba meraih buku yang kini menjadi tawanan pria itu. Tak sadar semua mata tertuju pada kami, sampai lupa bahwa ini perpustakaan.

"Oke, aku kembalikan, tapi tutup bukunya sekarang. Mala dari tadi nunggu di kantin."

Mala lagi! Mendengar nama itu gemuruh semakin membakar hati membuat kekesalanku naik beberapa tingkat. Kenapa sosok itu selalu ada di antara kami berdua?

"Kak, boleh aku bertanya?" Pertanyaan itu mewakili sesak di hatiku. Memang benar, wanita mampu menyembunyikan rasa cinta, tapi tak bisa menyembunyikan rasa cemburu meski hanya sedetik saja.

"Boleh. Nadin jelek mau tanya apa?" ucapnya menggodaku. Pria itu menyilangkan tangannya di atas meja seperti anak sekolah dasar yang sedang mendengarkan gurunya berbicara.

Aku mengerucutkan bibir mendengar panggilan menjengkelkan itu. Namun, ini bukan waktunya untuk bercanda.

"Jika salah satu di antara aku dan Mala harus pergi, siapa yang akan Kak Ardan pilih?" Setelah mengambil napas dalam-dalam, akhirnya kata itu keluar mulus dari bibirku.

"Maksudnya?"

"Ihhh ... Tinggal pilih aja, lebih baik kehilangan Nadin atau Mala. Siapa yang paling berharga dalam hidup Kak Ardan?" Aku semakin kesal melihatnya.

Kak Ardan terdiam sesaat, tapi tak berselang lama senyum simpulnya mulai terbit. Sepertinya aku harus kembali menahan debaran ini.

"Kamu."

Apa aku tak salah mendengar, rasanya ingin terbang ke langit. Pria itu memilihku? Aku menatapnya sejenak, mencari kebohongan di matanya hingga akhirnya ia kembali berucap.

"Nadin, kamu adalah sahabatku dan Mala adalah orang yang kucintai. Aku tak bisa memilih salah satu di antara kalian," lanjutnya disertai senyuman lagi.

Berhasil, kau hebat Kak Ardan.
Sosok itu kembali menjatuhkan hatiku setelah diterbangkan. Bodohnya aku percaya pada harapan sesaat yang sudah kutahu jawabannya. Kenapa aku tertipu pada manis kata yang diucapkannya.

"Cepat, Mala sudah menunggu kita." Pria itu bangkit dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkanku.

Tak butuh waktu lama untuk membereskan buku di atas meja, aku segera mengejarnya.

Satu Doaku, Cinta [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang