"Cintai sewajarnya, agar kecewa pun sewajarnya."
...
Sekali lagi, aku menatap gumpalan memutih bercampur biru di atas sana. Dapat kulihat sinar mentari yang terpantul lewat kaca bening kedai ini, menandakan bahwa hari sudah siang.
Aku kembali mengembuskan napas kasar, tak ada yang bisa kulakukan selain mengaduk gelas berisi jus strawberry. Aku benar-benar bosan, duduk sendiri sejak satu jam yang lalu.
"Putri, kemana sih? Katanya harus cepat-cepat datang, eh sendirinya malah telat." Gerutuku pada diri sendiri. Aku kembali meneguk separuhnya lagi, ternyata menunggu itu melelahlakan.
Seharusnya aku tidak berada di sini sekarang jika bukan Putri yang menyuruh datang. Katanya karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan, tapi sudah satu jam berlalu aku belum melihat tanda-tanda kedatangannya.
Aku membuka aplikasi berwarna hijau, berharap Putri mengirim pesan, tapi ternyata tidak. Tak kehabisan akal aku mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. Sebenarnya Putri kemana? Lebih baik aku pergi ke rumahnya, mungkin saja gadis itu ketiduran.
Aku bangkit dan beranjak tanpa melihat ke depan karena masih mencoba menelpon Putri. Hingga seseorang menabrak dan hampir membuatku jatuh. Aku yang masih dalam keadaan terkejut tanpa sadar memegang pergelangan tangannya.
Aku menatap ke depan di mana sosok itu juga tengah menatapku. Pria itu. Rasanya aku mengenalnya, tapi siapa? Mata kami bertemu dalam beberapa detik, sebelum akhirnya pria itu mengalihkan pandangan dan menghempas keras tanganku.
"Awww, sakit!" Aku terkejut ketika tubuh akhirnya mencium lantai. Sakitnya memang tak seberapa, tapi semua pengunjung yang ada di kedai ini menatap ke arahku. Aku benar-benar malu.
"Apa yang kau lalukan? Tidak tahukah bagaimana memperlakukan seorang wanita!" ucapku sedikit berteriak karena tak bisa menahan amarah.
Aku menatap tajam ke depan di mana pria itu diam seribu bahasa dan tak berniat membantuku. Apa dia tak punya hati sedikit pun? Aku bangkit dan menepuk-nepuk pelan pakaian yang sedikit kotor.
"Bukan mahram." Dua kata itu mampu membuat emosiku berada di level tertinggi, bagaimana bisa ia berkata seolah tak melakukan kesalahan. Aku sekarang ingat siapa pria itu, orang yang sama pernah menabrakku dan pergi begitu saja.
"Kau!" teriakku penuh kekesalan. Kenapa setiap bertemu dengannya hanya menguras kesabaranku saja. Tidak hari itu dan sekarang, semuanya menyebalkan.
"Saya rasa, apa yang saya lakukan itu benar. Apa kau tidak belajar tentang batasan dalam Islam?" sindir pria itu dengan sinisnya. Apa maksudnya? Aku merasa harga diriku sebagai seorang muslimah dipertaruhkan. Seharusnya di sini aku yang marah, tapi ini sebaliknya.
"Kau tidak bisa menghakimiku secara sepihak. Kau di sini juga bersalah." Aku sudah tak bisa menahan kekesalanku. Aku tahu memang salah bersentuhan dengan yang bukan mahram, tapi apa aku menginginkannya? Jelas tidak.
Aku bahkan tak tahu kalau yang kusentuh adalah tangan seorang pria. Itu murni ketidaksadaran dan dia seenaknya berbicara seperti itu tentangku.
"Aku memang melakukan kesalahan, tapi itu tidak menjamin bahwa aku bukan seorang muslimah dan soal batasan itu. Kau tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja." Aku sudah tak bisa menahan semuanya, terlebih ini menyangkut kehormatan seorang wanita.
"Baik, saya minta maaf." Aku dibuat tercengang dengan perkataannya. Drama macam apa ini? Pria itu berjalan ke depan dan melewatiku begitu saja. Tanpa menoleh sedikit pun, ia benar-benar menghilang.
Aku diam di tempat mencerna apa yang baru saja terjadi. Ada apa dengan hari ini dan siapa pria itu?
"Nadin." Suara bariton itu kembali membuatku benar-benar tak habis pikir.
"Apa lagi!" Aku berbalik ke arahnya. Bagaimana bisa pria itu memanggil setelah membuat marah. Sepertinya dia ingin membujukku. Tunggu, bagaimana mungkin dia tahu namaku?
Oh, tidak. Dengan cepat aku menatap ke depan dan benar saja. Aku benar-benar mati kutu sekarang melihat seseorang yang tengah menyeritkan kening. Kenapa kak Fatih ada di sini? Aku pikir dia pria tadi.
Jantungku bekerja melebihi batas normal, wajahku mulai terasa panas. Aku tak tahu harus berkata apa dan berbuat apa, bagaiman jika Kak Fatih berpikir yang tidak-tidak.
"Kak Fatih ... ada di sini?" Sekali lagi aku terlihat bodoh dengan melontarkan pertanyaan yang sudah kutahu jawabannya. Pria itu menjawab dengan seulas senyum.
"Kamu baik-baik saja 'kan, Nadin?" Pertanyaan Kak Fatih membuat hatiku menghangat dan malu. Apa pria itu mengkhawatirkanku? Mungkin karena melihat perlakukan anehku saat ini.
Aku menganggukan kepala sebagai jawab kemudian tersenyum sembari menundukan pandangan. Hanya dengan melihatnya seperti ini, semua kekesalanku hilang.
Sadar, Nadin. Jangan berzina pikirian. Belum tentu dia adalah orang akan menjadi takdirmu, jangan terlalu berharap pada manusia, ucapku pada diri sendiri.
"Kak Fatih ada apa ke sini?" Sepertinya pertanyaanku menyadarkan pria itu, terlihat dari raut wajahnya yang sedikit berubah. Aku melihatnya kembali mengembuskan napas pelan.
"Saya ke sini karena Putri keserempet motor." Aku terkejut bukan main. Apa aku tak salah mendengar atau kak Fatih bercanda?
"Inalillahi. Kak Fatih serius?" Pria itu menganggukan kepala dan seketika aku lemas. Ya Allah, pantas saja Putri tak mengangkat teleponnya.
"Gimana keadaan Putri, dia baik-baik aja 'kan? Antarkan Nadin menemui Putri, Kak Fatih." Aku benar-benar khawatir dengan Putri. Bagaimana bisa gadis itu ceroboh, lihat saja akan kupukul jika bertemu dengannya.
Putri, maafkan aku. Ini semua salahku. Aku sudah tak bisa menahannya lagi, lagi-lagi aku menangis di depannya. Kenapa aku sangat mudah menangis, dasar cengeng.
"Tenang, Nadin. Putri baik-baik aja. Janga menangis." Aku semakin tak bisa menyembunyikan tangis ketika suara itu terdengar.
"Saya tak bisa melihat kamu menangis seperti ini. Sapu tangan saya sudah habis." Aku membelalakan mata di sela tangisku. Bisa-bisanya pria itu bercanda di waktu yang tidak tepat. Aku semakin tak bisa menhentikan tangis, apalagi melihat pria itu. Aku semakin serba salah.
"Tenanglah, jangan menangis. Saya tak bisa memelukmu, selama kamu belum halal buat saya." Repleks aku menghentikan tangis dan menatap horor ke arahnya. Apa maksud pria itu? Pria itu tersenyum karena berhasil membuatku berhenti menangis.
"Ayo, kita pergi sekarang." Belum sempat aku tersadar dari keterkejutanku, pria itu telah pergi lebih dulu menghilang dari pandangan.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Doaku, Cinta [Selesai]
Spiritual"Aku mau mengkhitbah Mala." Jatungku berdebar hebat mendengar kalimat menyesakkan itu. Ada sesuatu yang menyayat hati membuat rasanya semakin berdesir perih. Hanya dengan beberapa kata, hatiku hancur lebur. Aku yang mencintainya dalam diam harus men...